Jumat 22 Jan 2021 10:32 WIB

PBB Soroti Hak Asasi di Australia Soal Banyaknya Warga Aborigin Dipenjara

Australia harus siap menghadapi "pengawasan intens".

Red:
Para pemrotes berpartisipasi dalam rapat umum Black Lives Matter di Langley Park di Perth, Australia, 13 Juni 2020. Protes itu diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran akan kematian Aborigin dalam tahanan polisi.
Foto: EPA-EFE/RICHARD WAINWRIGHT
Para pemrotes berpartisipasi dalam rapat umum Black Lives Matter di Langley Park di Perth, Australia, 13 Juni 2020. Protes itu diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran akan kematian Aborigin dalam tahanan polisi.

Australia akan menjadi subjek dalam sidang dewan HAM PBB untuk membahas sedikitnya kemajuan yang dicapai negara tersebut dalam mengurangi jumlah penahanan suku Aborigin hingga penggunaan fasilitas penahanan imigrasi.

Hal ini dinyatakan oleh delegasi PBB dalam sesi pembukaan sidang Dewan Hak Asasi Manusia yang digelar lima tahun sekali.

Sidang tersebut akan diadakan hari ini (21/01), tepatnya pukul 15:00-17:30 WIB dan akan disiarkan langsung.

Direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia, Hugh de Kretser mengatakan Australia harus siap menghadapi "pengawasan intens" terkait masalah hak asasi manusia.

"Sebagai negara yang makmur dengan demokrasi yang stabil, Australia dapat menjadi yang terdepan dalam urusan HAM, namun seringkali pemerintahnya gagal untuk menghormati hak tersebut di area penting," katanya.

"Perlakuan Australia terhadap suku Aborigin dan Kepulauan Selat Torres, serta pengungsi dan pencari suaka secara umum kemungkinan besar akan menjadi sorotan dalam peninjauan tersebut."

Warga Aborigin dan Kepulauan Selat Torres menempati paling tidak 28 persen populasi penjara di Australia.

Padahal mereka hanyalah 3,3 persen dari total populasi Australia.

Priscilla Atkins, wakil kepala Layanan Hukum Aborigin dan Kepulauan Selat Torres Nasional (NATSILS) mengatakan Peninjauan Berskala Universal adalah "kesempatan penting bagi pemerintah untuk menghormati hak asasi warga Aborigin dan Kepulauan Selat Torres".

"Suku kami terus-terusan mengalami ketidakadilan dari praktik diskriminatif, rasisme sistemik, kebijakan berlebihan, pelanggaran hak asasi manusia dan kematian dalam tahanan dalam sistem keadilan," katanya.

 

Beberapa negara mempertanyakan perlakuan HAM Australia

Sebelumnya, Swedia, Uruguay, dan Republik Ceko telah mempertanyakan jumlah tahanan yang berlebihan di penjara Australia.

Inggris juga mempertanyakan dengan mengutip Pernyataan Uluru dari Hati, yang diterbitkan tahun 2017, soal rencana Pemerintah Australia untuk "bekerjasama dan mendengarkan pemimpin Aborigin, dan memberikan tempat suara bagi suku Aborigin di parlemen".

Sementara itu, Jerman ingin tahu mengapa Pemerintah Australia menunda keputusan untuk menaikkan umur minimal penjatuhan hukuman kriminal dari 10 tahun menjadi 14 tahun.

Pemerintah Australia mengaku telah melakukan "pencapaian signifikan dalam realisasi hak asasi manusia", sejak peninjauan tahun 2015, seperti yang pernah dilaporkan The Guardian.

Pencapaian tersebut antara lain adalah dalam hal kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga, perdagangan manusia, dan legalisasi pernikahan sesama jenis.

Walau demikian, pemerintah negara tersebut mengatakan pandemi COVID-19 telah menimbulkan tantangan baru dalam melindungi hak asasi manusia di Australia, walau usaha masih tetap dilakukan.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari berbagai sumber

Ikuti berita seputar pandemi Australia dan lainnya di ABC Indonesia

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement