JAKARTA -- Kristen Gray, seorang warga Amerika Serikat yang memilih tinggal di Bali sebagai 'digital nomad', telah dideportasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kamis kemarin (21/01).
Keterangan pers dari Kantor Kemenkum HAM Bali menyebutkan ada empat pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Kristen dengan cara menyebarkan informasi palsu.
Melalui sejumlah unggahannya di Twitter, Kristen antara lain menyatakan sangat nyaman tinggal di Bali karena dia tidak pernah dipermasalahkan dalam soal pajak dan keimigrasian.
Pelanggaran lain yang dituduhkan terhadap Kristen yaitu menyebarkan informasi palsu karena menyebut betapa mudahnya akses masuk ke Indonesia pada saat pandemi COVID-19.
Ia juga dituduh melanggar aturan keimigrasian karena selama tinggal di Bali, ia diduga melakukan kegiatan bisnis, yaitu penjualan e-book dan jasa konsultasi pariwisata.
Kepala Kantor Departemen Hukum dan HAM Bali Jamaruli Manihuruk menjelaskan, Kristen masuk ke Indonesia pada tanggal 21 Januari 2020, atau sebelum perbatasan Indonesia diperketat akibat pandemi COVID-19.
"Selanjutnya Kristen Antoinette Gray melakukan perpanjangan izin tinggal pada Kantor Imigrasi Kelas 1TPI Denpasar pada tanggal 22 Desember 2020 yang berlaku sampai dengan 24 Januari 2021," jelas Jamaruli dalam keterangan pers tertulis.
Setelah dilakukan pengecekan, kata Jamaruli, ditemukan yang bertindak sebagai sponsor terhadap visa Kristen yaitu IGW yang tinggal di Ubud dan telah dimintai keterangan oleh pihak imigrasi.
Kristen juga telah dituduh menyebarkan informasi jika Bali sangat ramah bagi kaum LGBTQF.
Diketahui Kristen tinggal di Bali bersama pasangannya yang bernama Saundra Michelle Alexander.
Atas semua tuduhan tersebut, pihak imigrasi memutuskan untuk mendeportasi Kristen bersama kekasihnya dan keduanya telah meninggalkan Indonesia melalui Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta pada Kamis pagi.
"Yang bersangkutan berangkat pada tanggal 21 Januari 2021 dengan penerbangan American Airlines operated by Japan Airlines AA8497 dan AA8408 dengan waktu keberangkatan pukul 06.35 WIB, dengan tujuan Jakarta-Tokyo-Los Angeles," tulis rilis yang ditandatangani Jamaruli Manihuruk.
Kristen sebenarnya bukanlah satu-satunya orang asing yang memilih pindah ke Bali dan hidup secara berpindah-pindah di berbagai negara dengan mengandalkan koneksi internet, atau sering dikenal dengan istilah 'digital nomad'.
Dengan gaya hidup yang lebih santai, budaya yang unik, serta biaya yang relatif murah dibandingkan dengan di negara asalnya, Bali menjadi magnet tersendiri bagi para digital nomad.
"Pulau [Bali] sangat luar biasa karena gaya hidup kami jadi lebih baik dengan biaya yang jauh lebih murah," tulis Kristen di akun Twitter-nya.
"Sementara saya harus mengeluarkan $1.300 [lebih dari Rp13 juta] untuk sewa tempat tinggal berupa studio di Los Angeles."
"Sekarang saya tinggal di rumah pohon dengan biaya hanya $400 [atau lebih dari Rp4 juta]," tambahnya.
"Menjadi seorang digital nomad adalah segalanya," kata Kristen.
Namun salah satu masalah yang muncul dari kalangan 'digital nomad', yaitu kurangnya kepekaan terhadap budaya setempat.
Sementara itu terkait soal LGBTQF, survei terbaru yang dirilis lembaga survei Pew pada bulan Juni 2020 menyebutkan hanya sekitar sembilan persen penduduk Indonesia yang tidak mempermasalahkan homoseksuaitas.
Mayoritas melihat hubungan sesama jenis kelamin sebagai pelanggaran.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim.