Survei nasional dengan data yang dikumpulkan di tahun 2018 menemukan 47 persen responden siswa SMA di Australia telah berhubungan seksual.
Khusus untuk siswa kelas 12, jumlahnya mencapai 55 persen.
Australia memiliki kurikulum nasional, tetapi karena sektor pendidikan tetap menjadi tanggung jawab negara bagian, maka pelaksanaannya berbeda-beda, termasuk soal penerapan kurikulum pendidikan seks.
Menurut pakar kesehatan seksual dari Latrobe University, Dr Christopher Fisher, pengajaran pendidikan seks di Australia masih bersifat tambal sulam.
Dr Christopher memimpin Survei Nasional Siswa Pendidikan Menengah dan Kesehatan Seksual yang dilaksanakan setiap lima tahun sejak 1992.
"Beberapa remaja menyampaikan sangat senang mereka bisa mendapatkan pendidikan seks, karena mereka bisa belajar banyak hal," kata Dr Christopher kepada ABC.
"Namun dalam perjalanannya, remaja lainnya mungkin tidak mendapatkan pendidikan seks sebaik yang diajarkan di sekolah," jelasnya.
Koordinator kurikulum pendidikan seks dari Curtin University, Dr Jacqueline Hendriks menyebut kurikulum pendidikan seks di Australia masih "plin-plan".
"Saya tidak menyebut kita ini sangat tertinggal, namun masih harus mengikuti perkembangan zaman," ujarnya.
"Ada perbedaan besar, di antara sekolah-sekolah, di antara ruang-ruang kelas," kata Dr Jacqueline.
- Baca juga: Pengalaman Anak-anak migran asal Indonesia dibesarkan di Australia dengan budaya yang berbeda
'Banyak pengalaman remaja yang tidak terwakili dalam kurikulum'
Seorang remaja di Melbourne, Tamsin Griffiths menyebutkan pendidikan seks di sekolah perlu lebih mewakili hubungan dan kehidupan seks kaum remaja pada umumnya.
"Kami membutuhkan lebih banyak informasi daripada sekadar penjelasan cara memasang kondom pada sebuah pisang," ujarnya.
"Ini semua bukan lagi tentang bagaimana bayi lahir atau tentang pernikahan. Kurikulum yang ada tidak memasukkan topik seperti unsur kesenangan," kata Tamsin.
"One-night stand dan seks kasual sudah sangat umum saat ini. Namun kurikulum hanya mengajarkan tentang seks sebagai fungsi reproduktif semata," katanya.
Tamsin yang berasal dari daerah Semenanjung Mornington melakukan survei terhadap 500 siswa SMA tahun lalu dan menemukan pengajaran pendidikan seks sudah ketinggalan zaman.
"Kurikulum tidak mencerminkan komunitas LGBTQI + dengan tepat. Ketika saya membandingkan dengan keadaan teman-teman, begitu banyak pengalaman remaja yang tidak terwakili dalam kurikulum," katanya.
"Seks adalah bagian alamiah dari kehidupan, jadi mengapa tidak diajarkan secara memadai di sekolah?" ujar Tamsin.
Tamsin mengatakan saat ini remaja umumnya berhubungan seks untuk kesenangan, tetapi pendidikan di sekolah memperlakukan seks sebagai aktivitas reproduksi.
"Aspek kesenangan menjadi alasan yang cukup besar bagi kaum remaja untuk berhubungan seks," ujarnya.
Perlu adanya pola pikir 'seks positif'
Dr Jacqueline mengatakan pendidikan seks harus mencakup pandangan yang lebih menyeluruh soal seks, termasuk aspek kesenangan, saling menghormati, keintiman, hubungan dan persetujuan.
"Anak-anak muda selalu menyampaikan mereka tidak ingin hanya diingatkan soal penyakit, bayi dan tubuh," katanya.
"Mereka ingin tahu lebih banyak. Seperti soal ketertarikan sesama jenis dan keragaman gender, karena kebanyakan kurikulum sangat terfokus pada hubungan heteroseksual," jelasnya.
Dr Jacqueline menambahkan, pola pikir "seks positif" lebih diperlukan untuk menghindari konsep usang seputar seks.
"Idealnya, kita ingin mengajari para remaja untuk memiliki hubungan seksual yang benar-benar positif dan menyenangkan," katanya.
Menurut Dr Christopher mengajarkan aspek saling setuju saat melakukan hubungan seks adalah hal lain yang harus diperkuat.
"Cukup konsisten selama 25 tahun terakhir, sekitar seperempat remaja melaporkan hubungan seksual yang tidak diinginkan," katanya.
Remaja perlu kritisi soal konten pornografi yang semakin mudah diakses
Hasil survei dari Latrobe University juga menyebutkan terjadinya peningkatan jumlah remaja yang mengakses informasi kesehatan seksual melalui internet menjadi 79 persen.
Dr Jacqueline menambahkan kurikulum pendidikan seks yang realistis diperlukan untuk menekankan literasi digital.
"Ini bukan masalah apakah anak kita akan melihat pornografi atau konten seksual, tapi hanya masalah kapan mereka melihatnya," katanya.
Saat ini banyak sekali konten seksual yang mudah diakses, sehingga menurutnya para remaja perlu ajari keterampilan untuk bersikap kritis terhadap konten yang mereka konsumsi.
Juru bicara Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority (ACARA) mengatakan kurikulum nasional mencakup modul khusus tentang hubungan dan seksualitas di Kelas 10.
"Fokusnya mencakup siswa yang belajar tentang perubahan fisik, sosial dan emosional yang terjadi dari waktu ke waktu dan peran penting yang dimainkan hubungan dan seksualitas dalam perubahan ini," jelasnya.
Ia menambahkan, siswa diharapkan belajar tentang hubungan, biologi, membuat keputusan yang aman, dan perubahan tubuh pada interval yang sesuai selama pendidikan mereka.
Misalnya, untuk jenjang Kelas 3 hingga Kelas 10, siswa mempelajari tentang membangun dan mengelola hubungan, strategi untuk menangani hubungan di mana ada ketidakseimbangan kekuasaan, dan mengubah identitas pribadi, budaya, gender, dan seksual.
Artikel ini diproduksi Farid M.Ibarahim dari laporannya dalam Bahasa Inggris.