Jumat 19 Feb 2021 20:44 WIB

PBB: Kekerasan Masih Terjadi di Sudan Selatan

PBB menyebut serangan kelompok bersenjata ke warga sipil meningkat pada 2020.

Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Kekerasan masih terjadi di wilayah Sudan Selatan dalam satu tahun setelah perjanjian damai ditandatangani untuk mengakhiri perang sipil yang sudah berlangsung sejak 2013. Demikian menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis Jumat.

PBB menyebut, serangan kelompok bersenjata terhadap masyarakat sipil meningkat pada 2020. Para korban disasar berdasarkan etnisnya, bahkan seringkali dengan bantuan pasukan pemerintah atau oposisi.

Dalam laporan disebutkan bahwa ratusan orang terbunuh, sementara ratusan ribu lainnya mengungsi selama terjadinya pertempuran di area Equatoria Pusat, Warrap, Jonglei, dan wilayah Pibor.

"Perempuan dan anak perempuan diculik, diperkosa, diperkosa beramai-ramai, diperbudak secara seksual, dan dalam beberapa kasus dipaksa menikah," kata Komisi HAM PBB.

Menurut Ketua Komisi Yasmin Sooka, skala kekerasan melampaui yang terjadi pada 2013 hingga 2019. Anggota Komisi, Andrew Clapham, menyebut skala kekerasan dan fakta bahwa kelompok lokal menggunakan senjata yang lebih baru menunjukkan kemungkinan keterlibatan kekuatan negara atau aktor eksternal.

Pelaksana tugas juru bicara militer Sudan Selatan, Santo Domic Chol, menyebut ini bukan kali pertama Komisi HAM PBB mengeluarkan laporan serupa. "Kami tidak menentang laporan Anda, namun Anda harus membagikannya kepada kami sehingga jika terdapat hal-hal yang salah yang dilakukan oleh lembaga kami, kami dapat berubah," kata dia.

Sudan Selatan mendapatkan kemerdekaan dari Sudan pada 2011, setelah beberapa dekade melancarkan perang sipil. Kekerasan muncul pada akhir 2013, setelah Presiden Salva Kiir, yang berasal dari kelompok etnis Dinka, memecat wakil presiden Riek Machar, dari etnis Nuer.

Kedua tokoh itu telah menandatangani sejumlah perjanjian untuk mengakhiri perang yang diperkirakan telah menewaskan lebih dari 400 ribu orang. Mereka berulang kali memundurkan tenggat untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional, namun berhasil melakukannya tahun lalu.

Pada Februari 2020, Kiir berjanji untuk menjanjikan Machar--yang sebelumnya pemimpin pemberontak--sebagai wakilnya kembali. Pemerintah kemudian memohon pendanaan agar dapat melaksanakan perjanjian tersebut, dengan menyebut tidak tidaknya cukup dana untuk melakukannya.

sumber : Reuters/antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement