Sabtu 20 Feb 2021 21:16 WIB

India Meradang PBB Lakukan Pengamatan Atas Jammu-Kashmir

India menilai pengamatan PBB atas Jammu-Kashmir tidak tepat

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
India menilai pengamatan PBB atas Jammu-Kashmir tidak tepat. Personel paramiliter India berjaga di dekat lokasi serangan militan di Srinagar, Kashmir, India.
Foto:

Pejabat India itu juga mempertanyakan niat delegasi PBB dalam mengkritik kebijakan New Delhi di Jammu dan Kashmir pada saat sekelompok 24 utusan asing mengunjungi wilayah tersebut untuk mempelajari tentang inisiatif pembangunan oleh pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi di wilayah tersebut.

Kunjungan dua hari yang dlakukan utusan dari Bangladesh, Belgia, Bolivia, Brasil, Chili, Pantai Gading, Kuba, Estonia, Finlandia, Uni Eropa, Eritrea, Prancis, Ghana, Italia, Irlandia, Republik Kirgiz, Malaysia, Malawi , Belanda, Portugal, Senegal, Spanyol, Swedia dan Tajikistan, yang berakhir pada Kamis (18/2) itu, adalah perjalanan ketiga oleh pejabat asing ke Jammu dan Kashmir sejak New Delhi mengubah status konstitusionalnya.

Keputusan New Delhi untuk membatalkan status semi-otonom Jammu dan Kashmir telah dikecam Pakistan, yang mengontrol sebagian dari Jammu dan Kashmir dan mempersengketakan kekuasaan India atas wilayah tersebut. Tetangga bersenjata nuklir telah berperang tiga kali sejak 1947 di wilayah tersebut.

China, yang juga menguasai bagian dari Jammu dan Kashmir, juga menolak keputusan New Delhi pada Agustus 2019 silam. Namun India menyatakan bahwa langkah untuk mengubah status konstitusional Jammu dan Kashmir adalah "masalah internal" India.

Pelapor Khusus PBB, dalam pengamatan mereka, mengklaim bahwa New Delhi telah "merusak" hak-hak Muslim dan minoritas lainnya di Jammu dan Kashmir melalui pemberlakuan undang-undang baru dan memberlakukan perubahan demografis di wilayah tersebut.

“Hilangnya otonomi dan penerapan pemerintahan langsung oleh Pemerintah di New Delhi menunjukkan bahwa masyarakat Jammu dan Kashmir tidak lagi memiliki pemerintahan sendiri dan kehilangan kekuasaan untuk membuat undang-undang atau mengamandemen undang-undang di wilayah tersebut untuk memastikan perlindungan hak-hak mereka sebagai minoritas,” kata De Varennes.

“Banyaknya jumlah non-Muslim dari luar Jammu dan Kashmir yang diizinkan mendapatkan sertifikat domisili, menimbulkan kekhawatiran bahwa perubahan demografis atas dasar bahasa, agama, dan etnis sedang berlangsung,” sambungnya.

 

Sumber: sputniknews  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement