Senin 22 Feb 2021 21:26 WIB

Saksi Ungkap Aksi Brutal Aparat Myanmar

Saksi melihat seorang pria paruh baya ditembak di bagian perut dan lututnya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Demonstran berbaris selama protes terhadap kudeta militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, 22 Februari 2021. Bisnis ditutup dan ribuan demonstran anti-kudeta turun ke jalan untuk pemogokan umum nasional yang disebut pemberontakan 22222 atau Lima Dua, mengacu pada Tanggal, 22 Februari 2021, meski junta militer memperingatkan adanya kekuatan mematikan.
Foto: EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Demonstran berbaris selama protes terhadap kudeta militer Myanmar, di Yangon, Myanmar, 22 Februari 2021. Bisnis ditutup dan ribuan demonstran anti-kudeta turun ke jalan untuk pemogokan umum nasional yang disebut pemberontakan 22222 atau Lima Dua, mengacu pada Tanggal, 22 Februari 2021, meski junta militer memperingatkan adanya kekuatan mematikan.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sejumlah saksi mata menceritakan bagaimana kekerasan pasukan keamanan Myanmar kepada para pengunjuk rasa. Polisi disebut menembaki para pengunjuk rasa untuk membubarkan massa yang kian memenuhi jalan-jalan utama di kota utama terbesar kedua Myanmar, Mandalay, Ahad (21/2).

Ketegangan di Mandalay dilaporkan meningkat ketika polisi dan tentara menghadapi karyawan galangan kapal yang mengambil bagian dalam pemogokan nasional.

Baca Juga

Seorang pengunjuk rasa berusia 23 tahun mengatakan, polisi berjanji untuk mundur jika massa bubar. Namun ketika massa bubar, petugas malah menyerang dengan tongkat dan menyerbu para demonstran.

Polisi kemudian memblokir jalan, memaksanya untuk berlindung di lingkungan terdekat. Petugas lalu menembakkan gas air mata ke rumah-rumah penduduk. Hla melihat seorang pria paruh baya yang ditembak di bagian perut dan lututnya.

"Peluru menembus dan saya bisa melihat ligamennya," katanya dikutip laman The Guardian, Senin (22/2).

Dia menambahkan bahwa tindakan brutal polisi telah menimbulkan trauma. Pasukan keamanan juga menembak ambulans yang membawa  korban terluka. "Ada begitu banyak darah," kata dia.

"Ketika orang-orang mengangkat tangan untuk memohon kepada polisi agar berhenti menembaki ambulans, itu tidak berhasil. Saya merasa seperti saya harus lari untuk hidup saya," ujarnya melanjutkan.

Darah itu menandai tempat seorang pemuda terbunuh. Seorang pekerja medis lokal yang berusaha membantu pengunjuk rasa berbagi foto di Facebook. Dalam foto tersebut dia terlihat di samping seorang pria terluka yang kepalanya diperban, dan duduk di belakang truk polisi.

"Saya memohon kepada (polisi) untuk membebaskannya atau setidaknya memberi saya waktu 15 menit untuk menjahit kepalanya," tulis pekerja medis itu. "Tapi itu tidak ada gunanya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menyuruhnya bertahan di sana dan mengoleskan obat pada lukanya."

Dia mengatakan pasukan keamanan menembak ke rumah dan kompleks biara. Dia juga mengatakan, tentang pemuda lain yang meninggal setelah ditembak di kepala: "Tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali menangis," ujarnya.

Sekurangnya 30 orang terluka dalam tindakan keras itu. Beberapa demonstran telah menembakkan ketapel ke arah polisi, yang menanggapi dengan gas air mata dan tembakan.

Polisi di Mandalay didukung oleh tentara dari 33rd Light Infantry Division. Unit tersebut terlibat dalam kekejaman brutal yang dilakukan terhadap Rohingya pada 2017. Kala itu tindakan keras yang sejak saat itu menyebabkan kasus genosida.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement