REPUBLIKA.CO.ID, YANGON — PBB kembali mengecam tindakan militer Myamar atas serangan mematikan yang terjadi pada pengunjuk rasa anti-kudeta di negara itu pada Ahad (21/2). Dalam dua pekan terakhir, demonstrasi digelar di banyak jalan di kota-kota Myanmar.
Para peserta aksi menyuarakan protes atas kudeta yang dilakukan militer pada awal Februari lalu, namun unjuk rasa kerap diakhiri dengan bentrokan.
Pada Sabtu (20/2), tindakan keras kembali dilakukan oleh aparat keamanan, dengan tembakan yang dilepaskan terhadap demonstran di Mandalay. Sebanyak dua orang dilaporkan tewas dalam insiden ini. Masih di hari yang sama, ada satu pengunjuk rasa lainnya yang dilaporkan tewas karena tertembak di Yangon.
Demonstrasi kembali digelar pada Ahad (21/2). Para pengunjuk rasa di Yangon, Monywa, dan Myitkyina berkumpul menyalakan nyala lilin dan berdoa untuk memberi penghormatan kepada orang-orang yang meninggal akibat tindakan keras militer.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mengecam penggunaan kekerasan terhadap demonstran di Mandalay.
"Penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi dan pelecehan terhadap demonstran damai tidak dapat diterima," ujar Guterres melalui jejaring sosial Twitter, dilansir The Strait Times, Senin (22/2).
Pasukan keamanan di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar berusaha menyerang galangan kapal dan menahan staf pelabuhan yang mogok untuk memprotes kudeta militer. Petugas penyelamat medis mengatakan pasukan menggunakan peluru tajam dan peluru karet terhadap kerumunan orang yang mulai melemparkan batu dalam upaya menghentikan penangkapan.
"Dua orang tewas," kata Hlaing Min Oo, kepala tim penyelamat darurat relawan yang berbasis di Mandalay.
Sementara itu 30 orang lainnya dilaporkan terluka, dengan setengah dari luka-luka dari peluru tajam. Sebuah video yang beredar di jejaring sosial Facebook menunjukkan seorang remaja tergeletak, dengan kepala yang mengeluarkan darah dari kepalanya dan ada anggota tim medis yang mencoba membantu dengan memeriksa detak jantung.