REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Saksi mata mengatakan polisi Myanmar kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa. Sementara, menteri-menteri luar negeri Asia Tenggara (ASEAN) sedang menggelar pertemuan dengan pemerintah militer untuk mencegah kekerasan dan mencari jalan mengakhiri krisis.
Pertemuan itu digelar dua hari setelah unjuk rasa paling mematikan sejak militer menangkap pemimpin sipil Aung San Suu Kyi bulan lalu, kudeta yang memicu kemarahan dan unjuk rasa massal di seluruh Myanmar.
Banyak pengunjuk rasa yang mengenakan helm dan membawa perisai darurat di depan barikade polisi di berbagai sudut Kota Yangon. Mereka meneriakkan slogan-slogan protes dan menentang pemerintahan militer.
"Bila kami ditindas, maka akan ada ledakan, bila kami dipukul kami akan memukul balik," kata para demonstran sebelum polisi menembakan granat kejut ke arah massa yang berkumpul di empat titik Kota Yangon, Selasa (2/3).
Belum ada laporan korban luka atau jiwa di Yangon. Tapi aktivis demokrasi dan wartawan melaporkan beberapa orang terluka terluka saat polisi melepaskan tembakan peluru tajam untuk membubarkan pengunjuk rasa di Kota Kale.
"Beberapa orang terluka, dua orang dalam kondisi kritis," kata aktivis War War Pyone.
Rumah sakit dan polisi di sekitar lokasi kejadian tidak dapat dimintai komentar. Juru bicara militer Myanmar juga tidak menjawab panggilan telepon. Sejak gelombang unjuk rasa digelar sudah 21 orang warga sipil dan satu orang polisi meninggal dunia.
Kudeta 1 Februari lalu menutup masa transisi Myanmar menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun dikuasai militer. Pengambil alihan kekuasaan secara paksa itu dikecam Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. Negara-negara ASEAN juga kian khawatir dengan perkembangan situasi di Myanmar.