REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Penyelidik khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di Myanmar Tom Andrews kembali menyoroti aksi kekerasan junta militer di negara tersebut dalam merespons gelombang demonstrasi menentang kudeta. Dengan sedikitnya 70 korban jiwa, militer Myanmar dimungkinkan untuk disebut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Rakyat Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan, tapi juga tindakan suportif. Mereka membutuhkan bantuan komunitas internasional sekarang," kata Andrews kepada Dewan HAM PBB pada Kamis (11/3), dikutip laman Anadolu Agency.
Dia menyebut junta militer Myanmar adalah rezim ilegal yang terus melakukan pembunuhan. "Kejahatan terhadap orang-orang Rohingya terus berlanjut mengarah ke komando dan kontrol tingkat tinggi," ujarnya.
Dengan Dewan Keamanan PBB yang tampaknya enggan menggunakan otoritas Bab VII sehubungan dengan ancaman perdamaian, Andrews mendorong negara-negara anggota PBB mengambil tindakan melawan junta militer Myanmar.
"Saya mendesak sebanyak mungkin negara anggota berkomitmen untuk mengambil tindakan yang kuat, tegas, dan terkoordinasi sebagai koalisi negara; Koalisi Darurat untuk Rakyat Myanmar," ujar Andrews.
Dia menyerukan penerapan sanksi multilateral terhadap junta serta Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar milik militer. Komunitas internasional pun dapat memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011. (Kamran Dikarma)