Selasa 16 Mar 2021 18:51 WIB

Laporan: 191 Demonstran Tewas dalam Protes Kudeta Myanmar

Laporan teranyar menyebut 23 demonstran terbunuh saat menentang aksi kudeta, Senin.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Teman dan kerabat Khant Nyar Hein, seorang mahasiswa kedokteran berusia delapan belas tahun yang ditembak mati selama protes terhadap kudeta militer, memberikan hormat tiga jari saat upacara pemakaman di Yangon, Myanmar, Selasa (16/3). Khant Nyar Hein terbunuh dalam protes antikudeta pada  Ahad (14/3).
Foto: STRINGER/EPA
Teman dan kerabat Khant Nyar Hein, seorang mahasiswa kedokteran berusia delapan belas tahun yang ditembak mati selama protes terhadap kudeta militer, memberikan hormat tiga jari saat upacara pemakaman di Yangon, Myanmar, Selasa (16/3). Khant Nyar Hein terbunuh dalam protes antikudeta pada Ahad (14/3).

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Sebanyak 23 demonstran kembali terbunuh dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Myanmar pada Senin (15/3). Sejauh ini korban meninggal telah tercatat sebanyak 191 jiwa.

Menurut laporan media Irrawaddy, 23 korban meninggal terbaru tersebar di sejumlah distrik di Yangon dan Mandalay. Aparat keamanan dan militer melepaskan tembakan ke arah kerumunan demonstran.

Baca Juga

Sebuah video yang diyakini berlokasi di Dawbon, Yangon, memperlihatkan pasukan keamanan menembak seorang pria. Mereka kemudian menelanjanginya dan menyeretnya. Selagi melakukan hal demikian, mereka melepaskan tembakan ke lingkungan sekitar.

Akhir pekan lalu menjadi hari paling berdarah selama demonstrasi menentang kudeta militer berlangsung. Setidaknya 73 pengunjuk rasa yang tersebar di sejumlah kota di Yangon tewas pada Ahad (14/3).

Dari 73 kematian, sekitar 40 di antaranya tercatat di Kotapraja Hlaing Tharyar, Yangon. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mengutuk tindakan aparat keamanan Myanmar yang terus menyebabkan kematian di kalangan pengunjuk rasa. "Kita melihat akhir pekan yang penuh dengan pertumpahan darah," kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric, pada Senin.

Dujarric pun kembali menyerukan komunitas internasional untuk menunjukkan solidaritas kepada rakyat Myanmar dan aspirasi demokrasi mereka. Massa pengunjuk rasa di Myanmar telah mengecam seruan China agar rezim militer mengambil tindakan lebih keras terhadap mereka.

Hal itu sehubungan dengan pernyataan yang dirilis Kedutaan Besar (Kedubes) China di Yangon. Mereka mendesak militer Myanmar segera menindak para pengunjuk rasa setelah pabrik milik beberapa perusahaan asal negaranya di zona industri Hlaing Tharyar dibakar dan dijarah massa.

Segera setelah Kedubes China menerbitkan pernyataan, militer Myanmar mengumumkan darurat militer di Hlaing Tharyar. Pada Ahad pekan lalu, sebanyak 37 pengunjuk rasa tewas terbunuh di daerah tersebut.

Setelah kejadian itu, hampir satu juta pengguna media sosial berbagi unggahan dalam bahasa Myanmar dan Cina. "Kami benar-benar mengutuk pernyataan Kedubes Cina, hanya membela kepentingannya sendiri. Cina telah diam dan gagal mengutuk rezim militer, meskipun ratusan orang kehilangan nyawa mereka selama protes damai," kata mereka dalam unggahannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement