REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi akan menghadapi dakwaan baru, yakni melakukan korupsi. Sejak pemerintahannya digulingkan militer, dia telah menghadapi dua dakwaan, yaitu kepemilikan walkie-talkie ilegal dan melanggar pembatasan Covid-19.
Pada Rabu (17/3) malam, lembaga penyiaran militer Myanmar, Myawady, menghadirkan seorang pengembang properti bernama Maung Weik. Maung mengatakan dalam beberapa tahun terakhir dia telah memberi uang sebesar 550 ribu dolar AS kepada Suu Kyi. Ia pun menyebut telah menyumbangkan uang kepada tokoh-tokoh senior pemerintah untuk kebaikan bisnisnya.
"Aung San Suu Kyi melakukan korupsi dan (pihak berwenang) bersiap untuk menuntutnya sesuai dengan undang-undang antikorupsi," kata penyiar Myawady saat siaran berlangsung, dikutip laman Aljazirah.
Ini bukan pertama kalinya tuduhan korupsi diajukan terhadap Suu Kyi. Pekan lalu seorang juru bicara militer mengatakan seorang menteri utama yang kini ditahan telah mengakui memberi Suu Kyi 600 ribu dolar AS dan lebih dari 10 kilogram emas batangan.
Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, telah membantah tuduhan tersebut. Khin menyebut tudingan itu tak logis dan tak berdasar. “Aung San Suu Kyi mungkin memiliki kekurangan, tapi suap dan korupsi bukanlah sifatnya,” katanya seraya menambahkan bahwa kebanyakan orang di Myanmar tidak akan mempercayai tuduhan tersebut.
Gelombang demonstrasi menentang kudeta di Myanmar masih berlangsung. Meski ada kecaman dari dunia internasional, aparat keamanan tetap melakukan aksi kekerasan terhadap massa pengunjuk rasa. The Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), yang melacak penangkapan dan korban jiwa sejak kudeta, mengatakan sedikitnya 217 orang telah tewas dalam protes tersebut.
Pada Rabu lalu, asosiasi biksu Buddha yang dominan di Myanmar mendesak agar aksi kekerasan terhadap para demonstran dihentikan. Mereka menuding minoritas bersenjata melakukan penyiksaan dan pembunuhan warga sipil yang tak bersalah.
Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.