Sabtu 20 Mar 2021 17:15 WIB

Serangan Kelompok Bersenjata, Ratusan Orang Tewas di Kongo

ADF diduga telah menyerang 25 desa, dan membakar puluhan rumah.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
 Penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pasukan Kongo menjaga daerah yang mengarah ke tempat mayat ditemukan di dekat tempat konvoi PBB diserang dan duta besar Italia untuk Kongo tewas, di Nyiragongo, provinsi Kivu Utara, Kongo Senin, 22 Februari 2021.
Foto: AP/Justin Kabumba
Penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pasukan Kongo menjaga daerah yang mengarah ke tempat mayat ditemukan di dekat tempat konvoi PBB diserang dan duta besar Italia untuk Kongo tewas, di Nyiragongo, provinsi Kivu Utara, Kongo Senin, 22 Februari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNHCR mengatakan, lebih dari 200 orang tewas dan 40 ribu penduduk lainnya mengungsi dari Republik Demokratik Kongo sejak Januari. Ini adalah sebuah "peningkatan yang mengkhawatirkan" dalam serangan oleh Allied Democratic Forces (ADF).

Kelompok bersenjata ADF secara historis berada di Uganda timur sejak 1995. Mereka adalah kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan ISIS. Sejak awal tahun, ADF melancarkan serangan yang menewaskan sekitar 200 orang dan melukai puluhan lainnya.

"Serangan yang dituduhkan pada ADF telah menewaskan hampir 200 orang, melukai puluhan lainnya, dan membuat sekitar 40.000 orang mengungsi di Wilayah Beni di provinsi Kivu Utara serta desa-desa terdekat di provinsi Ituri," kata juru bicara UNHCR Babar Baloch, dilansir Aljazirah, Sabtu (20/3).

"Dalam waktu kurang dari tiga bulan, ADF diduga telah menggerebek 25 desa, membakar puluhan rumah dan menculik lebih dari 70 orang," ujar Baloch menambahkan.

ADF memiliki reputasi sebagai kelompok paling keji dari 122 kelompok militan yang melanda Kongo timur.  Pada tahun lalu serangan ADF telah menewaskan sekitar 465 orang. Menurut Kivu Security Tracker (KST), sebuah LSM yang memantau kekerasan di timur Kongo mengatakan, kelompok ADF telah menewaskan lebih dari 1.200 warga sipil di daerah Beni sejak 2017.

Pembantaian semakin sering terjadi sejak tentara melancarkan serangan pada Oktober 2019. Baloch mengatakan lonjakan serangan terbaru tampaknya disebabkan oleh pembalasan oleh kelompok bersenjata. Mereka memburu makanan dan obat-obatan mereka. Seranga juga diduga terkait dengan tuduhan terhadap komunitas yang membocorkan keberadaan ADF.

PBB menyatakan keprihatinan terhadap para pengungsi karena mereka memiliki risiko tinggi untuk terkena penyakit dan serangan susulan. Pandemi virus korona dan wabah Ebola saat ini masih menghantui wilayah tersebut. Mereka yang terpaksa mengungsi sebulan terakhir ini telah melarikan diri ke kota Oicha, Beni dan Butembo.

"Mayoritas (pengungsi) adalah wanita dan anak-anak, karena pria tetap tinggal untuk melindungi properti, membuat diri mereka menghadapi risiko serangan lebih lanjut," kata Baloch.

Baloch mengatakan, kurangnya pendanaan membatasi kemampuan UNHCR untuk menyediakan tempat penampungan dan bantuan lainnya. Tahun lalu, UNHCR mampu membangun lebih dari 43 ribu tempat penampungan keluarga di Kongo timur. Tetapi tahun ini, UNHCR hanya mampu membangun sepersepuluh tempat penampungan dari jumlah tahun lalu.

“Hanya 4.400 keluarga yang dapat dibantu dari ratusan ribu yang membutuhkan,” kata Baloch.

UNHCR membutuhkan dana sekitar 2 juta dolar AS untuk membangun tempat penampungan di wilayah Beni dan Irumu di Ituri. Karena kekurangan dana, UNHCR harus menghentikan program uang tunai bagi perempuan pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement