Kamis 29 Apr 2021 13:27 WIB

Pangkalan Udara Myanmar Diserang Roket

Belum ada pihak yang bertanggung jawab atas serangan itu.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam gambar yang dibuat dari video oleh Transborder News ini, asap mengepul dari kamp Tentara Myanmar dekat perbatasan Myanmar dan Thailand pada Selasa, 27 April 2021. Gerilyawan etnis Karen mengatakan mereka merebut pangkalan militer Myanmar pada hari Selasa dalam apa yang mewakili peningkatan moral tindakan bagi mereka yang menentang pengambilalihan militer atas pemerintah sipil negara pada bulan Februari.
Foto: Transborder News via AP
Dalam gambar yang dibuat dari video oleh Transborder News ini, asap mengepul dari kamp Tentara Myanmar dekat perbatasan Myanmar dan Thailand pada Selasa, 27 April 2021. Gerilyawan etnis Karen mengatakan mereka merebut pangkalan militer Myanmar pada hari Selasa dalam apa yang mewakili peningkatan moral tindakan bagi mereka yang menentang pengambilalihan militer atas pemerintah sipil negara pada bulan Februari.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Dua pangkalan udara Myanmar diserang pada Kamis (29/4) oleh kelompok tak dikenal. Sebuah ledakan dilaporkan terjadi di satu pangkalan, dan tembakan roket terjadi di pangkalan udara lainnya.

Dalam serangan pertama terjadi tiga ledakan di pangkalan udara di dekat pusat kota Magway pada Kamis dini hari. Kantor Berita Delta melaporkan, lima roket ditembakkan ke salah satu pangkalan udara utama di Meiktila, tepatnya di timur laut Magway.

Baca Juga

Reporter Kantor Berita Delta, Than Win Hlaing yang berada di dekat pangkalan udara mengunggah video yang menunjukkan sebuah roket terbang diikuti dengan suara ledakan. Namun Reuters belum dapat memverifikasi video tersebut.

Hingga saat ini belum ada konfirmasi atas korban jiwa maupun korban luka-luka dalam serangan itu. Selain itu, belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Juru bicara militer belum memberikan komentar.

Sejak militer melakukan kudeta pada 1 Februari dan menangkap pemimpin sipil terpilih Aung San Suu Kyi, aksi protes mengguncang seluruh Myanmar hampir setiap hari. Pasukan keamanan menggunakan kekuatan maksimal untuk berhadapan dengan para demonstran. Hingga saat ini sebanyak 750 warga sipil tewas dalam bentrokan dengan aparat keamanan.

Pertempuran antara militer dan pemberontak etnis minoritas juga berkobar sejak kudeta dengan militer melancarkan banyak serangan udara di utara dan timur. Pada Selasa (27/4) lalu, terjadi pertempuran di wilayah Myanmar timur dekat perbatasan Thailand.

Bentrokan itu terjadi ketika para jenderal mengatakan bahwa mereka akan mempertimbangkan konsensus dari pertemuan puncak para pemimpin ASEAN, akhir pekan lalu. Dalam pertemuan itu, para pemimpin negara-negara ASEAN menyerukan diakhirinya kekerasan, dan mendesak dialog dengan pemerintah terpilih yang digulingkan.

Serikat Nasional Karen mengatakan, pasukannya telah merebut pos terdepan tentara Myanmar di dekat perbatasan dengan Thailand, setelah melancarkan serangan sebelum fajar. Kepala Urusan Luar Negeri Saw Taw Nee mengatakan, kamp tersebut telah diduduki dan dibakar. Dia mengatakan telah terjadi pertempuran di tempat lain, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.

Orang-orang di seberang Sungai Salween melaporkan bahwa mereka mendengar suara tembakan. Sementara dalam video yang diunggah di media sosial menunjukkan kebakaran dan asap yang membubung dari perbukitan berhutan.

"Telah terjadi pertempuran sengit di pos terdepan militer Myanmar di seberang Mae Sam Laep. Pejabat keamanan kami sedang menilai situasinya tetapi sejauh ini belum ada laporan yang berdampak pada pihak Thailand," kata seorang pejabat provinsi dari kota Mae Hong Son di Thailand baratlaut kepada Reuters.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan bahwa pertempuran telah meningkat di Negara Bagian Kachin, Negara Bagian Shan Utara, Negara Bagian Kayin dan Wilayah Bago dalam beberapa bulan sejak kudeta. Sekitar 3.000 orang melintasi perbatasan ke Thailand pada akhir bulan lalu setelah militer Myanmar membombardir wilayah perbatasan timur.

Diperkirakan 40 ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat meningkatnya pertempuran. Sebagian besar berasal dari Negara Bagian Kayin. Militer Myanmar menyatakan bahwa mereka adalah satu-satunya institusi yang dapat menyatukan beragam etnis di negara tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement