REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menjelaskan makna "No Vote" atau "Against" oleh Indonesia terkait Responsibility to Protect (R2P). Keputusan Indonesia dalam sidang Majelis Umum PBB beberapa waktu lalu yang memberi 'No Vote' ini telah disalahpahami oleh berbagai pihak.
"Seolah Indonesia tidak mendukung Konsep Responsibility to Protect (R2P) yaitu konsep di mana negara-negara dapat melakukan penggunaan kekerasan terhadap suatu negara di kala pemerintahan negara tersebut melakukan kejahatan internasional terhadap warganya sendiri," ujar Hikmahanto Juwana dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Bahkan, lanjut dia, pihak-pihak tertentu mengkaitkan dengan peristiwa kekerasan oleh Israel terhadap rakyat Palestina. Menurut Hikmahanto, bila mencermati mata agenda pembahasan di Sidang Umum PBB ada tiga hal yang perlu dipahami.
Pertama, mata agenda pembahasan R2P terkait masalah prosedural bukan substansi dari R2P. Adapun prosedur yang ditawarkan adalah membahas agenda R2P setiap tahunnya dalam Sidang Majelis Umum PBB atau meneruskan pembahasan R2P yang dimunculkan sejak tahun 2005.
Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu mengatakan Indonesia dalam hal ini menentang (against) pembahasan tahunan karena tidak ingin menafikan pembahasan sejak 2005. Terlebih lagi bila pembahasan dimulai dari nol. "Bagi Indonesia apa yang sudah dimulai harus diteruskan," kata dia.
Namun Indonesia kalah suara dan dengan sendirinya suara terbanyak yang menang. Perlu diketahui dalam mekanisme yang berlaku di Majelis Umum PBB maka berlaku satu negara memiliki satu suara. "Oleh karenanya suara mayoritas menjadi keputusan Majelis Umum PBB," kata Hikmahanto.
Kedua, lanjut dia, dalam pembahasan agenda R2P di Majelis Umum tidak menyentuh masalah substansi atau materi dari R2P. Adapun yang dibahas hanya berkaitan masalah prosedur pembahasan, apakah dilakukan setiap tahun atau meneruskan yang sudah dilakukan.
Terakhir, ujar dia, pembahasan R2P kemarin sama sekali tidak terkait masalah kekerasan yang terjadi di tanah Palestina."Indonesia dan pemerintahnya telah berkomitmen untuk mendukung rakyat Palestina yang tertindas dalam memperoleh kemerdekaannya," kata Hikmahanto.
Ia menyayangkan tindakan UN Watch yang mengategorikan negara-negara anggota PBB yang tidak setuju pembahasan tahunan terhadap R2P dalam 'Daftar Malu' (List of Shame).
"Tidak jelas apa yang dimaksud dan apa yang menjadi kriteria kategorisasi oleh UN Watch sehingga negara anggota PBB dimasukkan dalam Daftar Malu tersebut," ujar dia.
Perlu disayangkan isu ini kemudian di Indonesia dijadikan komoditas politik seolah pemerintah Indonesia tidak mendukung penghentian kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina. Ia mengatakan Indonesia adalah pendukung R2P sejak pembahasan di tahun 2005. Bahkan Indonesia telah memiliki UU Pengadilan HAM yang mengkriminalkan pejabat pemerintah yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.