REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi muncul secara langsung di sidang pengadilan pada Senin untuk pertama kalinya sejak pemerintahannya digulingkan oleh militer dalam kudeta 1 Februari. Demikian disampaikan pengacaranya kepada Reuters.
"Suu Kyi terlihat dalam keadaan sehat dan mengadakan pertemuan tatap muka dengan tim hukumnya selama sekitar 30 menit sebelum sidang," kata pengacara Thae Maung Maung.
Suu Kyi, 75 tahun, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 atas upayanya membangun demokrasi, termasuk di antara lebih dari 4.000 orang yang ditahan sejak kudeta dilakukan kelompok militer di Myanmar. Dia menghadapi dakwaan yang berkisar dari kepemilikan radio walkie-talkie secara ilegal hingga pelanggaran undang-undang rahasia negara.
Suu Kyi dalam pertemuannya dengan para pengacaranya "mendoakan agar orang-orang selalu sehat" dan juga secara jelas merujuk pada partai Liga Nasional untuk Demokrasi miliknya yang mungkin akan segera dibubarkan."Dia (Suu Kyi) mengatakan partai itu didirikan untuk rakyat sehingga partai itu akan ada selama rakyat ada," kata Thae Maung Maung kepada Reuters.
Komisi pemilihan Myanmar yang ditunjuk junta akan membubarkan partai politik Suu Kyi karena tuduhan penipuan suara dalam pemilihan umum pada November tahun lalu. Hal itu dikabarkan pada Jumat (21/5) oleh media dengan mengutip pernyataan seorang komisaris, yang mengancam tindakan keras terhadap "pengkhianat" yang terlibat.
Tentara Myanmar merebut kekuasaan dengan tuduhan penipuan dalam pemilihan umum yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi pada November 2020. Tuduhan itu telah dibantah oleh komisi pemilihan sebelumnya.
Dalam wawancara pertamanya dengan media asing sejak kudeta, pemimpin junta Min Aung Hlaing mengatakan Suu Kyi dalam keadaan sehat dan dia mempermasalahkan tentang jumlah orang yang terbunuh oleh pasukan keamanan dalam protes sejak kudeta. Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara mengambil alih kekuasaan.
Sejak kudeta militer pada 1 Februari, Myanmar diwarnai dengan aksi protes harian, pawai dan pemogokan nasional terhadap junta, yang telah merespon dengan aksi kekerasan mematikan hingga menewaskan lebih dari 800 orang, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.Min Aung Hlaing dalam wawancara pada 20 Mei mengatakan jumlah korban sebenarnya sekitar 300 orang dan 47 polisi juga telah tewas.