REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah tandingan junta militer Myanmar menegaskan kelompok Rohingya berhak atas kewarganegaraan di negara tersebut. Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) pro-demokrasi Myanmar berencana menyusun konstitusi baru guna menyelesaikan konflik di Negara Bagian Rakhine tersebut.
NUG mengungkapkan UU Kewarganegaraan yang baru harus mendasarkan kewarganegaraan yang berbasis pada kelahiran di Myanmar atau kelahiran di mana saja sebagai anak dari warga Myanmar.
NUG mengungkapkan proses pencabutan aturan, termasuk UU Kewarganegaraan tahun 1982 yang dituding membuat warga Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan, dapat dilakukan setelah draf konstitusi baru selesai disusun.
“Orang-orang Rohingya berhak atas kewarganegaraan berdasarkan hukum yang akan sesuai dengan norma-norma hak asasi manusia yang mendasar dan prinsip demokratis,” tulis NUG dalam pernyataannya, Kamis malam.
NUG juga berkomitmen untuk menghapus proses penerbitan Kartu Verifikasi Nasional, sebuah proses yang disebut digunakan militer terhadap kelompok Rohingya dan kelompok etnis lainnya secara paksa dan melanggar HAM.
NUG sekaligus berkomitmen akan secara aktif mencari keadilan dan pertanggungjawaban atas segala kejahatan yang dilakukan militer terhadap kelompok Rohingya dan warga Myanmar lainnya sepanjang sejarah.
“Jika perlu, kami berniat memulai proses untuk memberikan yurisdiksi kepada Pengadilan Kriminal Internasional atas kejahatan yang dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya dan komunitas lainnya,” tulis NUG.
NUG memastikan restitusi dan keadilan akan tercantum dalam konstitusi di masa depan. Untuk itu, NUG mengajak kelompok Rohingya ikut berpartisipasi dalam Revolusi Musim Semi menentang kediktatoran militer.
Adapun NUG dibentuk oleh para penentang kudeta militer 1 Februari lalu, termasuk anggota parlemen yang digulingkan hingga etnis minoritas. Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan. Hingga Kamis kemarin, Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan 845 orang tewas dibunuh oleh pasukan junta sejak kudeta militer.