Rabu 09 Jun 2021 13:08 WIB

AS Sebut Ribuan Anak Imigran Masih Terpisah dari Keluarga

Pemerintahan Biden telah menyatukan kembali tujuh anak migran dengan orang tua

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat
Foto: Forbes
Anak-anak imigran yang ditampung dalam pusat detensi di daerah perbatasan di Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berupaya menyatukan kembali keluarga migran yang dipisahkan oleh kebijakan pemerintahan mantan presiden Donald Trump. Menurut laporan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), sejauh ini pemerintahan Biden telah menyatukan kembali tujuh anak migran dengan orang tua mereka.

Menurut laporan setebal 22 halaman yang dirilis pada Selasa (8/6), setidaknya 2.127 anak masih diyakini terpisah dari orang tua mereka. Jumlah tersebut diperkirakan dapat berubah, karena ada analisis bahwa beberapa anak dan orang tua mungkin telah bersatu kembali dengan sendirinya. 

Baca Juga

Laporan tersebut, diserahkan ke Biden pada 2 Juni. Laporan itu bukti kinerja 120 hari gugus tugas yang dibentuk Biden untuk menyatukan anak-anak migran yang terpisah dengan keluarga mereka. Dalam beberapa minggu mendatang, sebanyak 29 keluarga akan dipersatukan kembali.

Biden mengeluarkan perintah eksekutif  membentuk satuan tugas untuk menyatukan kembali anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka di perbatasan AS-Meksiko. Biden menyebut pemisahan seperti itu sebagai tragedi kemanusiaan.

Pemerintahan Trump memisahkan ribuan keluarga imigran di bawah kebijakan yang menyerukan penuntutan kepada imigran yang tidak sah di perbatasan pada awal 2018. Pengawas dan advokat pemerintah telah menemukan, pemisahan anak-anak imigran dari keluarga mereka dimulai sebelum kebijakan ditetapkan. 

Praktik tersebut mendapat kecaman luas. Ini salah satu dari beberapa kebijakan pembatasan yang diberlakukan pemerintahan Trump, yang bertujuan mencegah para imigran datang ke perbatasan selatan AS.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement