REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seorang bayi berusia enam hari meninggal setelah kedinginan karena minimnya tempat berlindung dan obat-obatan di kamp orang-orang terlantar akibat pertempuran di Negara Bagian Shan Selatan, Myanmar.
Media lokal Myanmar Now melaporkan ibu bayi tersebut termasuk salah satu orang yang tidur di bawah terpal di hutan di Pekhon setelah melarikan diri dari militer.
“Dia (bayi itu) masuk angin karena hujan deras. Dia baik-baik saja selama beberapa hari pertama setelah dilahirkan, dia disusui dengan baik,” kata anggota keluarga tersebut, dikutip dari Myanmar Now.
Bayi itu lahir setelah keluarganya pindah dari Gereja Sacred Heart di Pekhon. Militer Myanmar menyerang lokasi tersebut dengan peluru artileri sehingga memaksa para pengungsi mencari tempat berlindung lain.
Anggota keluarga bayi tersebut mengungkapkan kamp darurat baru yang kini mereka tinggali sangat kekurangan, termasuk kekurangan selimut. Seorang pengungsi internal lain mengungkapkan kamp pengungsi di daerah lain juga kekurangan tempat berlindung, obat, dan air minum.
Menurut pengungsi perempuan kendala terbesar di kamp pengungsi ialah pasokan air minum.
“Dan selalu ada 30 orang yang mengantre untuk satu kamar mandi. Sejumlah pendonor sudah memberikan pasokan medis tetapi tidak bervariasi. Hanya obat batuk dan obat sakit perut,” ungkap perempuan tersebut.
Perempuan itu mengungkapkan militer membunuh orang-orang yang kembali ke desa mereka untuk mengumpulkan pasokan. Menurut organisasi sukarelawan Progessive Karenni People Force (PKPF), seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan meninggal karena demam di kamp di Negara Bagian Kayah, 29 Mei.
Sebanyak lebih dari 100.000 orang mengungsi akibat bentrokan antara kelompok bersenjata lokal dengan militer di Kayah dan Shan, beberapa bulan belakangan. Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan. Hingga 14 Juni 2021, berdasarkan laporan Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP), pasukan junta telah menewaskan 863 orang sejak kudeta militer.