REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte menegaskan pemerintahannya tidak akan bekerja sama dengan kemungkinan investigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kampanye perang narkoba Filipina.
Media lokal Philstar mengungkapkan Duterte menyebut ICC sebagai “omong kosong”.
“Mengapa saya membela atau menghadapi tuduhan di depan orang kulit putih? Anda pasti gila. Mereka sebelumnya adalah penjajah dan belum menebus dosa mereka terhadap negara yang mereka invasi, termasuk Filipina,” ungkap Duterte dikutip dari Philstar, Selasa.
Adapun ICC beranggotakan 18 hakim, di mana beberapa di antaranya berasal dari Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Duterte juga mengaku ingin “menampar” hakim ICC seminggu setelah mantan kepala jaksa Fatou Bensouda meminta izin pengadilan untuk melanjutkan investigasi atas kampanye perang narkoba di Filipina.
Presiden Duterte mengatakan hanya akan menghadapi tuduhan di pengadilan Filipina. “Saya siap menghadapi tuduhan di pengadilan Filipina di depan hakim Filipina,” ucap Duterte.
Pada 14 Juni lalu atau sehari sebelum pensiun, Jaksa Utama ICC Fatou Bensouda mengumumkan pemeriksaan pendahuluan terhadap situasi di Filipina sudah selesai dan telah meminta izin pengadilan untuk melanjutkan investigasi.
Fatou meyakini ada dasar yang masuk akal bahwa terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yakni pembunuhan di Filipina antara 1 Juli 2016-16 Maret 2019 dalam konteks kampanye “war on drugs” pemerintah Filipina.
Meskipun Filipina telah keluar dari ICC pada 17 Maret 2019, menurut Fatou, pengadilan tetap memiliki kewenangan atas kejahatan yang diduga terjadi di sebuah negara ketika negara itu masih menjadi negara anggota Statuta Roma, perjanjian yang menciptakan ICC.
Pemerintah Filipina mencatat sekitar 6.600 orang telah tewas oleh polisi dalam tembak-menembak dengan tersangka pengedar narkoba sejak Presiden Filipina Rodrigo Duterte terpilih pada 2016. Namun, organisasi yang bergerak di bidang HAM memperkirakan jumlah korban tewas lebih tinggi.