REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA -- Kurang dari sepekan setelah serangkaian protes anti-pemerintah yang jarang terjadi dibubarkan oleh polisi dan simpatisan pemerintah, muncul kritikan dari Presiden Miguel Diaz-Canel, keadaan tampak tenang di Kuba. Namun, banyak yang bertanya-tanya selanjutnya kondisi yang akan terjadi di negara itu.
Protes bermula ketika ribuan orang Kuba berbaris di kawasan pejalan kaki Malecon Havana dan di tempat lain pada 11 Juli. Mereka bergerak untuk memprotes kekurangan makanan dan obat-obatan. Kondisi ini diperparah dengan pemadaman listrik dan beberapa bahkan menyerukan perubahan politik. Protes berlanjut dalam jumlah yang lebih kecil hingga dua hari setelahnya.
Diaz-Canel awalnya merespons dengan mencari pelakunya. Ia menunjuk sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS), dampak ekonomi dari pandemi virus corona, dan kampanye media sosial oleh kelompok Kuba-Amerika. Kemudian, dia mengakui beberapa tanggung jawab kerusuhan akibat para pemimpin Kuba.
Dengan pemikiran ini, para menteri Kabinet Kuba mengumumkan berbagai tindakan termasuk izin bagi para pengunjung untuk mengimpor makanan dan obat-obatan tanpa batas. Pemerintah pun mengizinkan pendaftaran darurat buku persediaan Kuba oleh orang-orang di luar tempat asal mereka.
"Pemerintah Kuba baru saja menunjukkan mereka dapat mengizinkan masuknya makanan dan obat-obatan tanpa batasan kuantitas atau tarif selama ini, tetapi memilih untuk tidak melakukannya selama lebih dari satu tahun pandemi," tulis direktur independen koran digital El Toque, Jose Jasan Nieves.
Pedagang kaki lima Marlen Rodriguez merasa pesimis dengan pengumuman pemerintah. "Tidak ada obat-obatan, tidak ada apa-apa, tidak ada makanan," ujarnya.
Ekonom Kuba Omar Everleny Perez menilai langkah-langkah yang diumumkan oleh pemerintah adalah langkah-langkah positif, tetapi tidak cukup. "Tanpa memengaruhi ideologi, ada banyak ruang di mana negara dapat mengambil tindakan," katanya.
Perez menyebutkan izin bagi pengusaha swasta untuk mengimpor barang tanpa melalui monopoli negara. Kondisi ini memungkinkan perusahaan asing untuk memasang pasar ritel atau menaikkan pagu untuk harga pertanian untuk meningkatkan pasokan.
Akan tetapi, para analis politik mengatakan tantangan ekonominya besar. "Saya pikir pemerintah hanya mencoba memberi sinyal kepada orang-orang bahwa mereka memahami keputusasaan mereka dan akan mencoba meringankan beberapa kesengsaraan yang mereka alami. Masalahnya adalah pemerintah tidak memiliki banyak sumber daya yang dapat dicurahkan untuk melakukan itu,” kata pakar Kuba di American University di AS, William LeoGrande.
LeoGrande mengatakan kerusuhan di Kuba dan pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise telah menempatkan Karibia kembali dalam agenda Presiden AS Joe Biden. "Tidak diragukan lagi demonstrasi di Kuba dan pembunuhan presiden Haiti serta kerusuhan yang dihasilkan di sana telah mendorong Karibia ke puncak agenda kebijakan luar negeri Presiden Biden," ujarnya.
Pawai berubah menjadi kekerasan. Polisi bentrok dengan pengunjuk rasa, mobil patroli dihancurkan, toko-toko dijarah, jendela pecah, batu dilempar, dan penangkapan serta cedera dengan kekerasan. Beberapa warga Kuba kesal dengan vandalisme dan kelompok pendukung pemerintah turun ke jalan dan bentrok dengan pengunjuk rasa.
Terdapat satu korban dalam protes dan jumlah pasti orang yang ditangkap tidak diketahui. Lawan pemerintah mengatakan di media sosial bahwa jumlahnya lebih dari 100 orang. Pada Jumat, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, menyerukan pembebasan para pengunjuk rasa.