REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid bertolak ke Maroko pada Rabu (11/8). Hal itu akan menjadi kunjungan pertama diplomat tinggi Israel sejak kedua negara meningkatkan hubungan tahun lalu.
Lapid memimpin delegasi menteri, dan meresmikan misi diplomatik Israel di Rabat. Dia juga mengunjungi Kuil Beth-El yang bersejarah di Casablanca dan mengadakan pembicaraan dengan rekannya dari Maroko, Nasser Bourita.
"Kunjungan bersejarah ini merupakan kelanjutan dari persahabatan lama dan akar yang dalam serta tradisi yang dimiliki komunitas Yahudi di Maroko, dan komunitas besar orang Israel yang berasal dari Maroko," kata Lapid.
Dua maskapai penerbangan Israel meluncurkan penerbangan komersial langsung ke Marrakesh dari Tel Aviv bulan lalu. Tetapi harapan untuk meningkatkan pariwisata yang lebih luas telah tertunda oleh lonjakan kasus Covid-19 di kedua negara.
Maroko adalah rumah bagi salah satu komunitas Yahudi terbesar sampai Israel mendirikan negara pada 1948. Ketika orang-orang Yahudi melarikan diri atau diusir dari banyak negara Arab, diperkirakan seperempat juta orang Yahudi meninggalkan Maroko menuju Israel dari 1948 hingga 1964.
Saat ini, sekitar 3.000 orang Yahudi masih bermukim di Maroko. Sementara ratusan ribu orang Israel mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Maroko.
Maroko adalah salah satu dari empat negara Arab yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, pada tahun lalu di bawah kesepakatan yang ditengahi oleh pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump. Negara Arab lainnya yang menormalisasi hubungan dengan Israel antara lain Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain dan Sudan.
Kesepakatan itu membuat warga Palestina marah. Mereka telah lama mengandalkan dukungan Arab dalam upaya menjadi negara yang merdeka.
Kunjungan Lapid ke Maroko hanya berselang lima minggu setelah dia mengunjungi UEA. Ketika itu, Lapid memuji hubungan Israel dengan negara Teluk Arab dan menyoroti kekhawatiran atas musuh bersama mereka, Iran.