REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bersikeras menyatakan tidak menyesali keputusannya untuk mengakhiri keberadaan militer selama 20 tahun di Afghanistan, Selasa (10/8). Penarikan pasukan tersebut dimanfaatkan Taliban untuk kembali merebut wilayah, setidaknya tujuh ibu kota provinsi telah dikuasai.
"Kami menghabiskan lebih dari satu triliun dolar selama 20 tahun, kami melatih dan dilengkapi dengan peralatan modern lebih dari 300 ribu pasukan Afghanistan dan para pemimpin Afghanistan harus bersatu. Kami kehilangan ribuan personel Amerika,” kata Biden dikutip dari Sputniknews.
Pemerintahan Biden telah diberitahu oleh militer AS bahwa keruntuhan dapat terjadi dalam waktu dari satu bulan hingga 90 hari. "Semuanya bergerak ke arah yang salah," kata seorang sumber yang akrab dengan penilaian intelijen militer.
Prospek yang memburuk datang ketika pejuang Taliban merebut ibu kota provinsi Badakhshan dan Baghlan di timur laut dan provinsi Farah di barat. Sebelumnya, milisi merebut enam ibu kota provinsi lainnya, termasuk Kunduz di provinsi Kunduz, dalam waktu kurang dari seminggu.
Dari 34 ibu kota provinsi Afghanistan, sembilan sekarang berada di tangan Taliban. Kesuksesan ini sebagai akibat dari serangan cepat Taliban setelah pasukan AS yang pergi.
Kabul sendiri belum secara langsung mendapatkan ancaman dalam serangan. Namun pejabat pemerintahan Afghanistan mengakui bahwa pasukan keamanan dibebani ketika mereka berusaha untuk membendung serangan itu sendiri, tanpa bantuan militer AS. Militer AS saat ini telah menyelesaikan lebih dari 95 persen penarikan pasukan AS, yang akan diselesaikan pada akhir Agustus.