REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Setelah krisis pengungsi 2015 sikap Eropa terhadap imigran kian mengeras. Krisis tersebut juga salah satu faktor pemicu bangkitnya partai-partai ekstrem kanan rasis seperti Alternative for Germany, yang menjadi oposisi kuat dalam pemilihan parlemen Jerman bulan Depan.
Turki yang sebelumnya memperlakukan pengungsi Suriah dan Afghanistan sebagai saudara muslim, kini memandang imigran dengan curiga saat negara itu dicengkeram inflasi dan pengangguran. Mengetahui 'kegelisahan' masyarakat terhadap imigrasi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan pemerintahannya memperkuat perbatasan sebelah timur dengan Iran dengan militer, polisi, dan tembok perbatasan baru yang sudah dibangun sejak 2017.
Pekan ini, Associated Press bertemu dengan puluhan warga Afghanistan di dekat perbatasan Turki dengan Iran. Sebagian besar adalah laki-laki muda tapi ada juga perempuan dan anak-anak. Mereka diselundupkan dalam kelompok-kelompok kecil pada malam hari. Para pengungsi itu mengatakan mereka meninggalkan Afghanistan untuk melarikan dari dari Taliban, kekerasan dan kemiskinan.
"Situasi di Afghanistan menegangkan, Taliban menguasai seluruh Afghanistan, tapi tidak ada pekerjaan di Afghanistan, kami terpaksa datang ke sini," kata salah satu laki-laki muda Hassan Khan, seperti dikutip Aljazirah, Senin (23/8).
Pengamat mengatakan belum ada indikasi pergerakan massal di seluruh perbatasan. Pihak berwenang Turki mengatakan pada tahun ini, mereka telah menghentikan 35 ribu orang Afghanistan yang berusaha masuk dengan ilegal.
Lebih sedikit dibandingkan sepanjang tahun 2020 yang sebanyak 50 ribu orang dan pada tahun 2019 yang sebanyak 200 ribu orang. Badan pengungsi PBB, UNHCR mengestimasi sekitar 90 persen dari 2,6 juta pengungsi Afghanistan yang tinggal di luar negeri berada di Iran dan Pakistan.
Kedua negara itu juga menampung banyak warga Afghanistan yang mencari peluang untuk ekonomi yang lebih baik. Jumlah jauh lebih banyak dibandingkan pencari suaka Afghanistan di negara-negara Uni Eropa dalam 10 tahun terakhir yang 630 ribu orang.
Badan statistik Uni Eropa mencatat pengungsi Afghanistan paling banyak mencari suaka di Jerman, Hungaria, Yunani, dan Swedia. Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia Jan Egelands mengatakan keberhasilan Taliban merebut Afghanistan akan mendorong krisis pengungsi yang baru.
"Saya memperingatkan ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya, rakyat Afghanistan takut, bingung tapi juga berharap perang yang berlangsung sangat lama akan berakhir dan mungkin sekarang mereka bisa menghindari baku tembak," katanya.
Ia menambahkan selanjutnya tergantung apakah Taliban mengizikan pembangunan dan bantuan kemanusiaan dapat dilanjutkan. "Bila anda melihat layanan masyarakat ambruk dan bila terjadi krisis pangan, maka tentu akan ada pergerakan massa," kata Egeland.