REPUBLIKA.CO.ID, SAN SALVADOR — Pengadilan tinggi El Salvador dan otoritas pemilihannya dianggap melanggar konstitusional dengan mengizinkan pemilihan presiden berturut-turut. Kedua institusi itu dianggap menyiapkan panggung bagi Presiden Nayib Bukele untuk berpotensi mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua pada 2024.
Kamar Konstitusi Mahkamah Agung pada Jumat (3/9) mengatakan kepada Mahkamah Pemilihan Agung untuk mengizinkan masa jabatan kedua. Otoritas pemilihan mengumumkan pada Sabtu (4/9) bahwa mereka akan menerima apa yang disebut sebagai putusan yang tidak dapat diajukan banding.
Putusan itu, oleh pengadilan yang baru-baru ini dirombak oleh partai Bukele, mengkhawatirkan partai-partai oposisi dan kelompok aktivis warga yang telah lama menuduh pemimpin populer itu cenderung otoriter. Partai-partai oposisi mengatakan putusan itu jelas tidak konstitusional.
Bukele sejauh ini belum mengumumkan rencana untuk mencalonkan diri kembali. Akan tetapi para kritikus menganggap dia akan melakukannya. "Pemilihan 2024 akan menjadi lelucon besar," kata pengacara Eduardo Escobar dari kelompok non-pemerintah Citizen Action dilansir AP News, Ahad (5/9).
Hingga saat ini, pengadilan telah menafsirkan konstitusi El Salvador untuk melarang presiden mencalonkan diri kembali selama 10 tahun setelah masa jabatan awal mereka. Ini setara dengan dua masa jabatan lima tahun Majelis Nasional.
Konstitusi melarang pencalonan mereka yang telah memegang kursi kepresidenan selama lebih dari enam bulan selama periode segera sebelum atau selama enam bulan terakhir sebelum awal masa jabatan presiden. Presiden populis yang terpilih pada 2019 itu telah mempertahankan popularitas tinggi dengan sumpahnya untuk memberantas korupsi yang merajalela di antara partai-partai tradisional negara itu.
Partai New Ideas memenangkan mayoritas kongres tahun ini. Segera setelah mengambil kursinya di Majelis Nasional pada Mei, partai itu menggantikan lima anggota Kamar Konstitusi dan jaksa agung independen yang menolak keras beberapa tindakan Bukele sebelumnya.
Pengacara Salvador, Enrique Anaya, yang kasusnya menantang upaya untuk mempromosikan pemilihan kembali menyebabkan tindakan pengadilan, berpendapat keputusan itu tidak memiliki nilai hukum. Karena, keputusan itu tidak ditandatangani oleh hakim.
"Negara tidak lagi melayani rakyat dan beralih untuk melayani satu orang,” cuit Anabel Belloso, anggota kongres untuk oposisi Front Pembebasan Nasional Farabundo Marti.
Aliansi Republik Nasionalis yang konservatif mengatakan upaya untuk mempertahankan dan memusatkan kekuasaan adalah awal dari kediktatoran. "Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan absolut benar-benar korup," ujar aliansi tersebut.