Rabu 08 Sep 2021 14:50 WIB

Shinzo Abe Mendukung Sanae Takaichi Jadi Perdana Menteri

Takaichi berjanji memperkenalkan kebijakan untuk melawan ancaman teknologi China

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Sanae Takaichi, perempuan pertama yang menjadi kandidat perdana menteri Jepang.
Foto: EPA
Sanae Takaichi, perempuan pertama yang menjadi kandidat perdana menteri Jepang.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Media-media Jepang melaporkan mantan perdana menteri Shinzo Abe mendukung mantan menteri dalam negeri Sanae Takaichi sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang. Takaichi berjanji memperkenalkan kebijakan untuk melawan ancaman teknologi China.

Ia juga berjanji memperbaiki ekonomi yang terdampak pandemi virus corona. Takaichi menjadi perempuan pertama yang ditunjuk sebagai menteri dalam negeri di periode kedua pemerintahan Abe tahun 2014 lalu.

Baca Juga

Pada Rabu (8/9) media Negeri Sakura melaporkan walaupun Abe telah memberi dukungan pada Takaichi untuk membantunya mendapatkan 20 suara anggota parlemen dari partai berkuasa Liberal Democratic Party (LDP), tapi ia tidak masuk calon unggulan dalam jajak pendapat. Anggota LDP akan melakukan pemilihan ketua dan anggota parlemen partai pada 29 September mendatang. Siapa pun yang memenangkan kursi partai akan menjadi kandidat calon perdana menteri yang dipilih anggota parlemen majelis rendah pada 28 November.

Itulah sebabnya pemilihan ketua partai LDP berdampak besar pada masyarakat. Takaichi berjanji untuk menyelesaikan permasalahan yang belum dipecahkan pemerintah sebelumnya. Isu yang menjadi sorotan antara lain menjaga inflasi dua persen sesuai dengan standar internasional serta memperkenalkan undang-undang 'yang mencegah informasi sensitif ke China'.

Ia juga mengatakan Jepang harus segera menyusun anggaran tambahan untuk mendorong sistem kesehatan yang saat ini dibebani pandemi Covid-19. Sebagai anggota faksi paling konservatif di LDP, ia kerap mengunjungi Kuil Yasukuni. Kuil tersebut adalah monumen untuk mengenang tentara-tentara Jepang yang tewas dalam perang. Kunjungan pejabat-pejabat pemerintah Jepang ke tempat itu kerap membuat negara-negara bekas koloni Jepang seperti China dan Korea Selatan marah.

Ia juga menentang kebijakan yang mengizinkan pasangan menikah mempertahankan nama belakang mereka. Hal ini membuat kelompok hak-hak perempuan kecewa dengannya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement