Laporan itu mengatakan, bahwa dalam kondisi ini, kapasitas teknis IAEA untuk memantau program nuklir Iran telah jauh menurun secara signifikan. "Keyakinan bahwa Iran dapat mempertahankan kontinuitas pengetahuan menurun dari waktu ke waktu," tulis laporan itu.
Kendati demikian, Presiden Iran Ebrahim Raisi bersikeras bahwa negaranya transparan. "Tentu saja, dalam hal pendekatan non-konstruktif oleh IAEA, tidak masuk akal mengharapkan Iran untuk merespons secara konstruktif." katanya pada Rabu lalu menurut sebuah pernyataan dari kepresidenan.
Pembicaraan tidak langsung antara Amerika Serikat dan Iran tentang kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) telah dihentikan sejak Juni. Washington dan sekutu Eropa telah mendesak pemerintahan Presiden Ebrahim Raisi untuk kembali menghidupkan perundingan JCPOA. Di bawah kesepakatan JCPOA antara Iran dan negara-negara besar, Teheran menyetujui pembatasan kegiatan nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi.
Pada 2018, mantan presiden Donald Trump menarik AS keluar dari JCPOA dan kembali menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran. Pada 2019, Iran menanggapi keputusan AS dengan melanggar batasan inti kesepakatan JCPOA seperti memperkaya uranium ke kemurnian yang lebih tinggi sehingga lebih dekat untuk digunakan dalam senjata nuklir.