REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhemi melakukan pertemuan dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi di Teheran pada Ahad (12/9). Al-Kadhemi jadi pemimpin asing pertama yang bertemu Raisi.
“Saya berharap, terlepas dari tujuan musuh kedua negara, kita akan menyaksikan perluasan hubungan baik antara Iran dan Irak,” kata Raisi dalam konferensi pers bersama al-Kadhemi.
Raisi mengungkapkan Irak telah setuju membebaskan visa bagi peziarah Iran ke tempat-tempat suci Syiah di Irak. Akhir bulan ini, umat Syiah akan memperingati Arbaeen, yakni menandai berakhirnya masa berkabung 40 hari untuk Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad. “Keputusan juga dibuat tentang masalah keuangan kedua negara yang harus diadopsi,” kata Raisi, tanpa merinci lebih lanjut.
Irak diketahui tengah berusaha memediasi Iran dengan negara-negara Arab yang memusuhinya, termasuk Arab Saudi. Irak telah menjadi arena persaiangan antara Iran di satu sisi dan Amerika Serikat (AS), Israel, serta negara-negara Teluk Arab di sisi lain.
Irak hampir menjadi medan pertempuran saat AS membunuh mantan komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Bandara Internasional Baghdad pada Januari 2020.
Dia dibunuh saat berada dalam konvoi Popular Mobilization Forces (PMF), pasukan paramiliter Irak yang memiliki kedekatan dengan Iran. Iring-iringan mobil mereka menjadi sasaran tembak pesawat nirawak AS.
Iran mengutuk keras pembunuhan Soleimani dan bersumpah akan membalas tindakan Washington. Tak lama setelah peristiwa pembunuhan itu, Iran meluncurkan serangan udara ke markas tentara AS di Irak.
Soleimani merupakan tokoh militer Iran yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Ia dipercaya memimpin Pasukan Quds, sebuah divisi atau sayap dari Garda Revolusi Iran yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial, termasuk kontra-intelijen di kawasan.