REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN — Iran dilaporkan telah mulai memperkaya uranium, melebihi batas yang ditetapkan dalam Kesepakatan Nuklir 2015. Mohammad Eslami, kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), mengklaim pada Sabtu (9/10) bahwa negaranya telah mengumpulkan lebih dari 120 kilogram uranium yang diperkaya hingga 20 persen.
Ia juga menyebut bahwa negara-negara Barat mengerti bahwa Iran akan diberikan bahan bakar yang diperkaya hingga aanga tersebut untuk digunakan di reaktor.
“Jika rekan-rekan kamu tidak melakukannya, tentu akan ada masalah dengan kekurangan bahan bakar untuk reaktor Teheran, yang dipasok ke Iran oleh AS pada 1960-an untuk memproduksi radioisotop untuk digunakan dalam perawatan medis dan pertanian,” ujar Eslami, dilansir Sputnik, Ahad (10/10).
Sejak itu, Eslami mengatakan bahwa reaktor Iran telah dimodernisasi untuk menjalankan 20 persen uranium yang diperkaya. Ia juga menyebut Teheran akan memperkaya uranium dengan cara menghindari untuk melewati tingkat yang diizinkan.
Nilai ambang batas pengayaan uranium untuk keperluan militer, termasuk pembuatan senjata nuklir, adalah 90 persen. Pada April, mantan presiden Iran Hassan Rouhani mengklaim Teheran mampu membawa tingkat pengayaan uranium hingga 90 persen, tetapi tidak untuk tujuan menciptakan sebuah bom nuklir dan senjata sejenisnya.
Mantan juru bicara pemerintah Iran saat itu Ali Rabie menunjukkan pada Juni bahwa sekitar 108 kilogram uranium yang diperkaya 20 persen telah diproduksi sejak undang-undang itu diadopsi sekitar lima bulan lalu. Pada Desember 2020, parlemen Iran meloloskan RUU yang mewajibkan pemerintah untuk mulai memurnikan uranium hingga setidaknya 20 persen kemurnian fisil jika sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS) tidak dicabut.
Dokumen tersebut menetapkan bahwa Iran harus memproduksi 120 kilogram uranium yang diperkaya 20 persen per tahun, jauh di atas batas 3,67 persen yang disepakati berdasarkan kesepakatan nuklir Iran 2015, juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA).
Pada Mei 2018, mantan presiden AS Donald Trump mengumumkan penarikan sepihak negaranya dari JCPOA. Ia juga memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran.
Tepat setahun kemudian, Iran mengumumkan akan mulai membatalkan kewajiban sesuai yang tercantum dalam JCPOA. Ini juga termasuk yang terkait dengan pengayaan uranium.