REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Calon duta besar Amerika Serikat (AS) untuk China, Nicholas Burns, mengatakan China agresif dan tidak dapat dipercaya, Rabu (20/10). Dia bersikeras bahwa meningkatkan pertahanan Taiwan terhadap ancaman invasi China harus menjadi prioritas AS.
Berbicara kepada Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS yang akan mengonfirmasi pengangkatan Burns, dia mengecam serangan pesawat tempur China baru-baru ini ke zona pertahanan udara Taiwan. Dia menyebut Beijing sangat tidak menyenangkan.
"Kami tentu tidak bisa mempercayai orang Cina dalam masalah Taiwan," kata Burns, dikutip dari The Guardian.
"Tanggung jawab kami adalah membuat Taiwan menjadi kacang yang sulit untuk dipecahkan," ujarnya.
Selain itu, diplomat karir yang telah bekerja di sejumlah pemerintahan AS, baik di bawah Demokrat dan Republik ini menuduh pemerintah China sebagai agresor terhadap India di sepanjang perbatasan panjang Himalaya. "Melawan Vietnam, Filipina dan lainnya di Laut China Selatan, melawan Jepang, di Laut Cina Timur," ujarnya.
"Beijing telah meluncurkan kampanye intimidasi terhadap Australia, dan bahkan baru-baru ini Lituania. Genosida China di Xinjiang, pelanggarannya di Tibet, pembatasan otonomi dan kebebasan Hong Kong, dan penindasannya terhadap Taiwan tidak adil dan harus dihentikan," ujar Burns.
Tapi Burns menekankan bahwa kekuatan China tidak boleh ditaksir terlalu tinggi. Menurutnya, Beijing hanya memiliki sedikit sekutu dan tidak memiliki sekutu nyata. "Kita seharusnya tidak melebih-lebihkan kekuatan mereka atau meremehkan kekuatan AS. Yang kita butuhkan adalah kepercayaan diri bahwa AS adalah negara yang kuat," katanya kepada komite.
AS telah mengakui Republik Rakyat China atau China Sejak 1979. Namun, Kongres secara bersamaan mengharuskan Washington untuk memberikan Taipei sarana pertahanan diri.
Pulau itu telah memiliki pemerintahan sendiri sejak komunis mengambil alih daratan Cina pada 1949. Namun Cina menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya suatu hari nanti, dengan kekerasan jika perlukan. Presiden Cina, Xi Jinping, baru-baru ini mendesak penyatuan kembali secara damai.