Senin 08 Nov 2021 19:47 WIB

Serangan ke PM Khadimi, Picu Ketegangan di Irak

Serangan terhadap Khadimi dinilai tak terjadi bila Qassem Suleimani masih hidup.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi berpose di kantornya selama wawancara dengan The Associated Press di Baghdad, Irak, Jumat, 23 Juli 2021.
Foto: AP/Khalid Mohammed
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi berpose di kantornya selama wawancara dengan The Associated Press di Baghdad, Irak, Jumat, 23 Juli 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Tokoh-tokoh senior Irak yakin serangan drone ke kediaman Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi akan mendorong ketegangan ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hubungan antara pejabat Irak dengan faksi-faksi yang didukung Iran memanas sejak pemilihan bulan lalu.

Pemerintah Irak menilai serangan itu sebagai percobaan pembunuhan perdana menteri pertama sejak Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein hampir 19 tahun yang lalu. Kadhimi hanya terluka sedikit. Tujuh orang pengawal mengalami luka serius meski tidak ada yang mengancam nyawa.

Baca Juga

Tokoh intelijen di kawasan mengatakan serangan ini tampaknya dilakukan oleh kelompok yang memiliki hubungan dengan Iran. Mereka kehilangan dua pertiga kursi dalam pemilihan parlemen dan pada Jumat (5/11) lalu mencoba menerobos masuk Zona Hijau sebelum dihalau pasukan keamanan.

Belum diketahui apakah Iran yang memerintahkan serangan tersebut. Karena perebutan dominasi politik sekali lagi kepentingan nasionalis dengan blok-blok yang beraliansi dengan Iran kembali berbenturan dalam lingkungan yang tidak dapat diprediksi.

"Kami mengatakan milisi yang melakukan ini, kami mengatakan Iran mungkin tahu, kami tidak yakin dengan itu," kata salah seorang pejabat Irak seperti dikutip the Guardian, Senin (8/11).

Setelah Jenderal Iran Qassem Suleimani dibunuh dalam serangan yang diperintahkan Donald Trump pada Januari 2020 lalu. Situasi itu telah mengaburkan pemahaman pejabat Irak apakah proksi-proksi Iran di Irak bergerak atas perintah tokoh-tokoh di Iran. Suleimani selama ini mengarahkan proksi-proksi Iran di Irak.  

"Menurut kami ini tidak akan terjadi bila Qassem Suleimani masih hidup, tidak ada yang menguasai kelompok-kelompok milisi seperti yang ia lakukan, artinya hubungan dengan kursi kekuasaan di Teheran tidak (sekuat) dulu," tambah pejabat itu.

Namun sejak pemilihan umum, kelompok-kelompok yang memiliki hubungan dengan Iran semakin agresif. Pemilihan tersebut mengikis kekuatan politik mereka. Kelompok itu juga mendukung ulama syiah Muqtadr al-Sadr.

Upaya penerobosan ke Zona Hijau pekan lalu menyebabkan kematian satu orang pengunjuk rasa dan melukai puluhan lainnya. Ketua salah satu milisi Asa’ib Ahl al-Haq, Qais al-Khazali memperingatkan akan membalas kematian pengunjuk rasa.

"Kalian bertanggung jawab atas darah syuhada, pengunjuk rasa hanya memiliki satu tuntutan terhadap kecurangan dalam pemilu, ditanggapi (dengan peluru tajam) artinya kalian yang bertanggung jawab atas kecurangan ini, membalas darah syuhada adalah tanggung jawab kami dan kami akan melakukannya dengan mengadili kalian," katanya.

Pergerakan ke Zona Hijau pada Jumat lalu upaya kedua kelompok milisi masuk ke wilayah lokasi gedung-gedung pemerintah dan kedutaan besar. Pada bulan Juni ketua kelompok milis memerintahkan anggota mereka untuk mengepung salah satu pos pemeriksaan utama yang mengarah ke Tigris.

Gerakan tersebut mendorong negosiasi yang berlarut-larut, para pemimpin milisi yang didukung Iran itu melemahkan otoritas Kadhimi. Sehingga ia mempertimbangkan untuk tidak maju di periode kedua.

Namun perjalanannya ke Washington di mana ia berhasil menegosiasikan penarikan sisa pasukan AS di Irak disambut baik di Iran. "Iran ingin dia maju lagi, tapi tidak berarti mereka menginginkannya, itu selalu rumit bagi mereka," kata salah satu pejabat Irak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement