REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Tujuh negara pada Jumat (26/11) menyerukan larangan penjualan senjata kepada militer Myanmar. Mereka menyatakan keprihatinan dengan peningkatan eskalasi kekerasan di negara tersebut.
Tujuh negara itu antara lain Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, dan Inggris. "Kami menegaskan kembali keprihatinan kami atas laporan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung dan pelanggaran oleh Pasukan Keamanan Myanmar, termasuk laporan kredibel tentang kekerasan seksual dan penyiksaan, terutama di Negara Bagian Chin, Wilayah Sagaing dan Wilayah Magwe," ujar pernyataan bersama tujuh negara tersebut, dilansir Anadolu Agency, Sabtu (27/11).
Militer Myanmar telah membakar rumah, gereja, dan panti asuhan di desa Thantlang di Negara Bagian Chin. Mereka juga menargetkan serangan terhadap kelompok-kelompok kemanusiaan. Lebih dari 40 ribu orang dilaporkan telah mengungsi di Negara Bagian Chin, dan 11 ribu di Wilayah Magwe akibat kekerasan belum lama ini.
Ketujuh negara itu juga menyuarakan keprihatinan tentang tuduhan penimbunan senjata dan serangan oleh militer terhadap penduduk sipil. Termasuk bentrokan di negara bagian Rakhine pada awal November.
Ketujuh negara tersebut mendesak agar militer Myanmar menghentikan semua pelanggaran hak asasi manusia, dan kekerasan terhadap penduduk sipil. Tujuh negara itu juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menangguhkan semua dukungan operasional kepada militer Myanmar.
Termasuk menghentikan pengiriman senjata, material, peralatan penggunaan ganda, dan bantuan teknis kepada militer. "Kami mendorong masyarakat internasional untuk bekerja sama untuk mencegah kekejaman di masa depan di Myanmar, termasuk dengan mendukung keadilan dan akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman," kata pernyataan tujuh negara itu.
Kekerasan di Myanmar meningkat setelah kudeta militer pada 1 Februari, yang menggulingkan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi. Ketika kudeta, militer Myanmar telah membunuh, menyiksa, dan menangkap warga sipil secara sewenang-wenang.