REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- PBB memperkirakan, angka kemiskinan perkotaan di Myanmar akan meningkat tiga kali lipat. Hal itu bisa membuat hampir separuh populasi negara tersebut hidup di bawah garis kemiskinan tahun depan.
The United Nations Development Program (UNDP) melakukan survei terhadap 1.200 rumah tangga di Myanmar. Setengah dari responden yang tinggal di daerah perkotaan menyebut mereka tak memiliki tabungan tersisa. Sepertiga lainnya mengatakan mereka telah menjual sepeda motornya. Padahal motor adalah alat transportasi utama kebanyakan keluarga di Myanmar.
Menurut UNDP, ada tren peningkatan yang jelas bahwa keluarga-keluarga terkait mengonsumsi lebih sedikit makanan. Selain itu, angka putus sekolah turut merangkak naik. UNDP menyebut, kota-kota besar seperti Yangon dan Mandalay, yang dulunya merupakan rumah bagi kelas menengah yang sedang tumbuh, telah mengalami gangguan terhadap usaha serta sektor kecil. Mulai dari konstruksi dan perhotelah hingga ritel serta tekstil. Hal itu menyebabkan hilangnya pekerjaan dan pengurangan upah.
Hasil survei UNDP mengindikasikan, Myanmar akan kembali ke tingkat kemiskinan yang tak terlihat sejak 2015, sebelum reformasi demokrasi dimulai. “Perosotan ke dalam kemiskinan skala ini bisa berarti hilangnya kelas menengah, pertanda buruk bagi pemulihan cepat dari krisis,” kata Direktur Biro UNDP untuk Asia dan Pasifik Kanni Wignaraja, Rabu (1/12)
Dalam skenario terburuk, PBB memperkirakan, jumlah warga Myanmar yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat berlipat ganda menjadi 46,3 persen dari 24,8 persen. Sementara kemiskinan perkotaan diprediksi meningkat tiga kali lipat pada 2022 menjadi 37,2 persen, dibandingkan 11,3 persen pada 2019.
Wignaraja mengatakan, tindakan segera perlu diambil Myanmar agar kondisi tersebut tak terwariskan ke generasi selanjutnya. “Anda kehilangan satu generasi bukan hanya karena perang. Anda kehilangan satu generasi karena kelemahan dan ketidakmampuan yang berasal dari kekurangan makanan, gizi buruk, kemiskinan ekstrem,” ucapnya.
Bank Dunia sempat memproyeksikan bahwa Myanmar akan mengalami pertumbuhan ekonomi meskipun pandemic masih berlangsung. Namun prediksi itu berubah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari lalu. Kini Bank Dunia memprediksi, ekonomi Myanmar akan berkontraksi lebih dari 18 persen tahun ini, jauh melampaui tetangganya.
Pasca-kudeta, Myanmar dilanda gelombang demonstrasi. Mereka menolak dan menentang aksi pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan militer. Namun demonstrasi itu direspons secara represif dan brutal oleh militer. Lebih dari 1.200 orang dilapor.