REPUBLIKA.CO.ID, NIIGATA -- Eiko Kawasaki berdiri sambil menangis di pelabuhan Niigata, tempat dia berangkat ke Korea Utara (Korut) lebih dari 60 tahun yang lalu. Dia melemparkan bunga krisan ke laut untuk berdoa bagi rekan-rekannya yang tidak dapat kembali.
Sebagai gadis berusia 17 tahun yang mencari kehidupan yang lebih baik, Kawasaki bergabung dengan program pemukiman kembali yang dipimpin oleh Korea Utara yang menjanjikan "Surga di Bumi". Semuanya seharusnya gratis dan mereka yang memiliki akar Korea sepertinya bisa hidup tanpa menghadapi diskriminasi.
Kawasaki termasuk di antara sekitar 93 ribu penduduk etnis Korea di Jepang dan kerabat mereka yang bergabung dengan program tersebut hanya untuk menemukan kebalikan dari yang dijanjikan. Sebagian besar dipekerjakan secara kasar di tambang, di hutan, dan di pertanian hingga menghadapi diskriminasi karena penjajahan Jepang di Semenanjung Korea di masa lalu.
Kawasaki pun mengadakan upacara peringatan di pelabuhan pada awal Desember, menandai hari kapal pertama berangkat ke Korea Utara 62 tahun yang lalu. Para peserta mengheningkan cipta untuk para korban yang telah meninggal meskipun mereka berharap untuk kembali ke Jepang suatu hari nanti.
"Untungnya, saya kembali ke Jepang hidup-hidup. Karena saya menganggap hidup saya di sini sebagai bonus tambahan yang saya terima, saya ingin mencurahkan seluruh waktu yang tersisa untuk melakukan apa pun yang dapat saya lakukan untuk memastikan tragedi ini tidak terjadi lagi," kata Kawasaki.
Lahir di ibu kota kuno Jepang, Kyoto, sebagai generasi kedua Korea, Kawasaki penasaran untuk melihat negara komunis yang banyak dipuji tetapi terisolasi itu setelah belajar di sekolah yang pro-Korea Utara. Dia mengaku telah dicuci otak.
Kawasaki memiliki keraguan tentang masa depan yang dijanjikan ketika ferinya tiba di pelabuhan Korea Utara. Saat berlabuh, dia bertemu dengan ratusan mayat yang diselimuti jelaga dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Semuanya tampak benar-benar hitam," kenangnya.
Pelabuhan internasional terbesar ketiga di Korea Utara tampak jauh lebih kumuh daripada pelabuhan Niigata. "Saat itu saya menyadari bahwa saya telah tertipu," ujar Kawasaki.
Kemudian Kawasaki melihat mantan teman sekolahnya yang telah berangkat ke Korea Utara lebih awal sedang mengumpulkan sisa kotak makan siang yang tidak dihabiskan Kawasaki dan penumpang lainnya. Teman sekolahnya memberitahukan bahwa seharusnya memakannya karena tidak akan memiliki akses ke makanan enak seperti itu lagi.
"Saya tercengang dan berpikir jantung saya akan berhenti karena kaget," kata Kawasaki mengenang masa itu.
Dia terjebak di Korea Utara selama lebih dari 40 tahun sampai melarikan diri pada 2003 ke Jepang tanpa memberi tahu siapa pun, termasuk keluarganya. Meskipun dia kini aman di Jepang, Kawasaki tidak pernah merasa nyaman karena khawatir tentang suami dan anak-anaknya yang masih di Korea Utara.