REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon berhenti membuat daftar kelompok ekstremis yang tidak dapat diikuti oleh anggota militer pada Senin (20/12). Keputusan ini terjadi usai pembicaraan yang panjang setelah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjabat pada 20 Januari lalu.
"Jika kami membuat daftar kelompok-kelompok ekstremis, itu mungkin hanya akan seperti hari kami menerbitkannya karena kelompok-kelompok ini berubah," kata juru bicara Pentagon John Kirby.
Militer AS, seperti masyarakat Amerika, berada di bawah tekanan politik setelah bertahun-tahun politik memecah belah. Sebagian kecil anggota militer telah menolak perintah untuk divaksinasi, setelah masalah itu dipolitisasi, dan beberapa berpartisipasi dalam kerusuhan 6 Januari yang mematikan di Capitol oleh para pendukung Presiden Donald Trump.
Setelah kerusuhan, pemerintah Biden menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengklarifikasi definisi ekstremisme dan jenis partisipasi militer dalam aktivitas ekstremis yang dilarang secara eksplisit. Definisi baru mencakup segala hal mulai dari melarang menyukai konten ekstremis di media sosial hingga penggalangan dana atau demonstrasi untuk organisasi ekstremis. Hukuman, jika ada, bisa sampai ke komandan setempat.
Namun Pentagon berhenti melarang keanggotaan dalam kelompok mana pun, dari Proud Boys, Oath Keepers, hingga Ku Klux Klan. Kementerian Pertahanan menghindari mempertimbangkan skenario tertentu, seperti pandangan tentara tentang legitimasi Biden sebagai presiden.
Pejabat pertahanan AS mengatakan pembatasan baru yang diumumkan memiliki arti bahwa partisipasi aktif dalam kelompok semacam itu tidak mungkin dilakukan. Pengumuman Pentagon datang hanya beberapa pekan setelah Inspektur Jenderal Pentagon mengutip 294 tuduhan aktivitas ekstremis oleh anggota militer AS.
Tuduhan ini termasuk 10 tuduhan masuk tanpa izin di Capitol pada 6 Januari dan 102 tuduhan partisipasi dalam kekerasan ekstremis domestik. Ada juga 70 tuduhan aktivitas ekstremis kekerasan bermotivasi rasial dan 73 tuduhan ekstremisme anti-pemerintah atau anti-otoritas.
Inspektur Jenderal menyalahkan Departemen Pertahanan karena gagal melacak data secara konsisten dengan cara yang seragam. "Sampai Departemen Pertahanan menetapkan kebijakan seluruh Departemen Pertahanan untuk melacak dan melaporkan dugaan kegiatan terlarang, Departemen Pertahanan akan terus memiliki pelacakan yang tidak konsisten dan kesulitan memvalidasi keakuratan data," katanya.
Pentagon dalam laporannya tentang ekstremisme menyebut data yang tersedia umumnya menunjukkan kasus-kasus aktivitas ekstremis terlarang di antara anggota militer jarang terjadi. Kirby mengatakan para pejabat telah menemukan sekitar 100 kasus secara total, tetapi mengakui Pentagon perlu melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengumpulkan data.
Pejabat pertahanan AS menjelaskan kebijakan baru akan memanfaatkan alat yang ada dalam mengidentifikasi ancaman teroris dan mata-mata di jajarannya untuk lebih baik menyingkirkan aktivitas ekstremis. Namun, tujuan dan waktu untuk penegakan kebijakan baru itu tidak jelas, termasuk kapan pasukan AS mungkin mulai dihukum karena penggunaan media sosial yang tidak pantas.
Para pejabat menerangkan mereka tidak berencana untuk secara teratur memantau Twitter, Facebook, dan situs media sosial lainnya. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah kebijakan baru itu merupakan penyimpangan substansial dari penyaringan anggota layanan AS yang ada pada saat-saat penting dalam karier, termasuk perekrutan.
Kirby menekankan tujuan dari kebijakan itu bukan untuk melarang aktivitas politik oleh tentara AS. "Ini bukan tentang kecenderungan politik atau kecenderungan partisan," kata Kirby.