Selasa 22 Mar 2022 08:48 WIB

AS Resmi Tetapkan Kekerasan terhadap Rohingya Sebagai Genosida

AS ada bukti jelas terkait upaya penghancuran kelompok Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolandha
Warga Rohingya duduk di dekat api setelah kapal mereka bersandar di Pulau Idaman, Aceh, pada 4 Juni 2021. Amerika Serikat (AS) telah resmi menetapkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai bentuk genosida.
Foto: AP Photo/Zik Maulana
Warga Rohingya duduk di dekat api setelah kapal mereka bersandar di Pulau Idaman, Aceh, pada 4 Juni 2021. Amerika Serikat (AS) telah resmi menetapkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai bentuk genosida.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) telah resmi menetapkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai bentuk genosida. Washington menilai, ada bukti jelas terkait upaya “penghancuran” kelompok minoritas tersebut.

“(AS) menetapkan bahwa anggota militer Burma (Myanmar) melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berbicara di US Holocaust Memorial Museum, Senin (21/3/2022).

Baca Juga

Dia mengungkapkan, AS melihat niat militer Myanmar telah melampaui pembersihan etnis. Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, memang ingin “menghancurkan” etnis Rohingya. “Serangan terhadap Rohingya meluas dan sistematis, yang sangat penting untuk mencapai penentuan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.

Pada akhir 2017, US Holocaust Memorial Museum bersama kelompok Fortify Right merilis laporan terkait kekerasan yang dialami etnis Rohingya. Mereka menyimpulkan ada bukti kuat tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar.

Pada 2018, Departemen Luar Negeri AS menerbitkan laporan yang menjabarkan lebih detail tentang aksi kekerasan militer Myanmar terhadap orang-orang Rohingya. Washington menilai, kekerasan tersebut bersifat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya.

AS pun menjatuhkan sanksi kepada para jenderal Myanmar yang dianggap bertanggung jawab atau terlibat dalam aksi tersebut. Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil turut menjadi korban dalam operasi tersebut.

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.  Saat ini wilayah Cox’s Bazar di perbatasan Bangladesh menampung sekitar 1,2 juta pengungsi Rohingya.

Bangladesh telah mulai memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil bernama Bhasan Char di Teluk Benggala. Bangladesh mengklaim relokasi pengungsi Rohingya ke Bhasan Char dilakukan secara sukarela dan tanpa paksaan. Klaim itu muncul karena adanya dugaan bahwa proses relokasi pengungsi dilakukan secara paksa.

Bangladesh pun meyakinkan bahwa Bhasan Char aman serta layak ditinggali. Fasilitas seperti perumahan dan rumah sakit tengah dibangun di sana. Menurut Bangladesh, kamp-kamp pengungsi yang kian padat di Cox's Bazar telah memicu aksi kejahatan, termasuk kekerasan. Hal itu turut menjadi alasan mengapa sebagian pengungsi Rohingya ingin direlokasi. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement