REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pengungsi Rohingya di Bangladesh menyambut keputusan Amerika Serikat (AS) yang menyatakan bahwa aksi kekerasan militer Myanmar terhadap mereka merupakan bentuk genosida. Para pengungsi sangat menanti-nanti adanya keputusan semacam itu.
“Kami sangat senang atas deklarasi genosida; terima kasih banyak,” kata Sala Uddin (60 tahun), seorang pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp Kutupalong di Bangladesh, dikutip laman TRT World, Selasa (22/3/2022).
Dia mengungkapkan, sejak 1962 pemerintah Myanmar menyiksa banyak komunitas di negara tersebut, termasuk etnis Rohingya. “Saya pikir jalan untuk mengambil tindakan oleh komunitas internasional terhadap Myanmar telah terbuka karena deklarasi (AS) tersebut,” ucapnya.
Kelompok kemanusiaan Refugees International turut menyambut keputusan AS. “Deklarasi genosida AS adalah langkah yang disambut baik dan sangat berarti. Ini juga merupakan tanda komitmen yang kuat terhadap keadilan bagi semua orang yang terus menghadapi pelanggaran oleh junta militer hingga hari ini,” kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan.
Direktur Pusat Studi Genosida di Universitas Dhaka Imtiaz Ahmed mengatakan deklarasi genosida yang dibuat AS merupakan langkah positif. Namun, menurut dia, penting untuk melihat tindakan dan langkah konkret apa yang bakal mengikuti. “Hanya dengan mengatakan bahwa genosida telah dilakukan di Myanmar terhadap Rohingya tidak cukup. Saya pikir perlu melihat apa yang akan terjadi setelah pernyataan itu,” ujarnya.
Menurut Ahmed, penting pula untuk melihat apakah AS akan tertarik untuk mendukung Pengadilan Internasional (ICJ) di Den Haag. Myanmar sedang menghadapi persidangan di pengadilan tersebut. Pada November 2019, Gambia, mengatasnamakan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), membawa kasus dugaan genosida terhadap Rohingya ke ICJ. Gambia menilai Myanmar telah melanggar Konvensi Genosida PBB. Myanmar dan Gambia merupakan negara pihak dalam konvensi tersebut.
AS telah resmi menetapkan aksi kekerasan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya sebagai bentuk genosida. Washington menilai, ada bukti jelas terkait upaya “penghancuran” kelompok minoritas tersebut. “(AS) menetapkan bahwa anggota militer Burma (Myanmar) melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat berbicara di US Holocaust Memorial Museum, Senin (21/3/2022).
Dia mengungkapkan, AS melihat niat militer Myanmar telah melampaui pembersihan etnis. Militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, memang ingin “menghancurkan” etnis Rohingya. “Serangan terhadap Rohingya meluas dan sistematis, yang sangat penting untuk mencapai penentuan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil turut menjadi korban dalam operasi tersebut.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional. Saat ini wilayah Cox’s Bazar di perbatasan Bangladesh menampung sekitar 1,2 juta pengungsi Rohingya.