REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Jepang tidak pernah merasa ditekan oleh Amerika Serikat (AS) untuk keluar dari proyek minyak dan gas di pulau Sakhalin Rusia di mana perusahaan Jepang memiliki saham. Demikian kata Menteri Industri Jepang Koichi Hagiuda pada Selasa (12/4/2022).
"Kami bermaksud untuk terus memegang konsesi di proyek Sakhalin 1 dan 2 karena proyek itu adalah sumber energi jangka panjang yang stabil dan murah dan penting bagi kehidupan warga Jepang dan kegiatan bisnis," kata Koichi Hagiuda pada sebuah konferensi pers.
"Saya tidak pernah merasakan tekanan apa pun dari Amerika Serikat untuk menarik diri dari proyek-proyek Sakhalin," ujar Hagiuda ketika ditanya tentang tekanan AS.
Menurut Hagiuda, Amerika Serikat memahami pentingnya keamanan energi berdasarkan keadaan masing-masing negara. Krisis Ukraina telah menempatkan keterlibatan Jepang dalam proyek minyak dan gas Sakhalin-1 dan Sakhalin-2 dalam sorotan yang tajam sejak perusahaan-perusahaan minyak negara Barat mengatakan mereka akan menarik diri dari proyek energi Rusia setelah adanya invasi negara itu ke Ukraina.
Namun, Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai "operasi militer khusus". "Sambil memastikan pasokan energi yang stabil, Jepang akan berupaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi Rusia dengan mendiversifikasi sumber energi, termasuk energi terbarukan dan energi nuklir, serta diversifikasi sumber pasokan," kata Hagiuda.
Menteri Industri Jepang itu juga mengatakan Kementerian Industri tidak mengetahui adanya perusahaan Jepang yang diminta oleh perusahaan milik negara Rusia untuk membayar dalam rubel untuk transaksi gas alam. Presiden Rusia Vladimir Putin telah memperingatkan negara-negara Eropa bahwa mereka berisiko mengalami pemotongan pasokan gas kecuali jika membayar dalam rubel .Langkah itu diambil Putin yang mencoba membalas sanksi Barat yang dikenakan pada Rusia atas invasi Moskow ke Ukraina.