Selasa 07 Jun 2022 12:16 WIB

Perdana Menteri Inggris Lolos dari Mosi tidak Percaya

PM Inggris dapat melanjutkan pemerintahan dan fokus pada kebijakan bagi rakyat.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Friska Yolandha
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson
Foto: AP Photo
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson lolos dari mosi tidak percaya yang bisa membuatnya dicopot dari kekuasaan. Terlepas dari ketidakpuasan di internal Partai Konservatif yang berkuasa, Johnson memenangkan mosi percaya pada Senin (6/6/2022) dengan 211 mendukung Johnson dan148 suara tidak mendukungnya.

Johnson menggambarkan pemungutan suara sebagai "hasil yang menentukan". Dengan demikian, dia dapat melanjutkan pemerintahan dan fokus pada kebijakan yang penting bagi masyarakat.

Baca Juga

“Saya pikir ini hasil yang meyakinkan, hasil yang menentukan pemerintah kita dapat bergerak dan fokus pada hal-hal yang menurut saya benar-benar penting bagi masyarakat,” kata Johnson, dilansir Aljazirah, Selasa (7/6/2022).

Pejabat Partai Konservatif, Graham Brady telah menerima surat yang menyerukan mosi tidak percaya pada Johnson dari setidaknya 54 anggota parlemen Partai Konservatif. Di bawah aturan partai, jumlah ini memenuhi kriteria untuk mengambil langkah mosi tidak percaya terhadap Johnson. 

Johnson perlu memenangkan dukungan mayoritas dari 359 legislator Konservatif di parlemen Inggris untuk tetap berkuasa.  Jika Johnson gagal mengamankan mayoritas itu, partai tersebut akan terpaksa memilih pemimpin baru yang juga akan menjadi perdana menteri berikutnya.

Mantan ajudan menteri di pemerintahan Johnson,  Leon Emirali, mengatakan, ada "kelegaan besar" di Downing Street ketika perdana menteri lolos dari mosi tidak percaya.Emirali menggambarkan kemenangan Johnson sebagai "mayoritas yang sangat tipis".

“Saya pikir akan ada perasaan lega di awal. Tetapi, pada akhirnya, masalah yang lebih besar akan datang lebih jauh,” kata Emirali.

Kepemimpinan Johnson berada di bawah pengawasan ketat, setelah laporan penyelidik mengkritik ada pelanggaran aturan di dalam kantor perdana menteri. Skandal ini dikenal sebagai "Partygate".

Laporan tersebut menggambarkan pesta alkohol yang diadakan oleh staf Downing Street pada 2020 dan 2021. Pesta digelar di tengah kebijakan lockdown atau penguncian untuk melawan pandemi Covid-19. Berdasarkan kebijakan tersebut, penduduk Inggris dilarang keluar rumah untuk bersosialisasi atau bahkan mengunjungi kerabat.

Johnson telah menghabiskan waktu selama beberapa bulan untuk mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan. Skandal ini menjadikan Johnson sebagai perdana menteri Inggris pertama yang terbukti melanggar hukum. Tetapi Johnson dengan tegas menolak untuk mengundurkan diri.

Johnson disambut dengan sorakan dan ejekan dari warga Inggris ketika menghadiri perayaan Platinum Jubilee Ratu Elizabeth II. Sebagian besar rakyat Inggris telah kehilangan kepercayaan terhadap Johnson setelah skandal Partygate tersebut.

"Boris Johnson akan lega pada pemungutan suara ini. Tapi dia juga akan mengerti bahwa prioritas berikutnya adalah membangun kembali kohesi partai. Saya yakin dia akan mampu menandingi tantangannya," ujar seorang mantan menteri, David Jones kepada Reuters.

Dengan memenangkan mosi tidak percaya, Johnson telah mendapatkan penangguhan hukuman selama 12 bulan ketika anggota parlemen tidak dapat mengajukan tantangan lain. Puluhan anggota parlemen Konservatif telah menyuarakan keprihatinan apakah Johnson akan kehilangan otoritasnya untuk memerintah Inggris.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement