REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah Sri Lanka dinilai telah sangat tidak bertanggung jawab atas kekacauan ekonomi yang terjadi saat ini di negara tersebut. Pemerintah dianggap sangat tidak kompeten dalam mengelola kebijakan moneter dan ekonomi negara itu sejak 2019.
“Perekonomian pasti di ambang kehancuran,” kata Nirvikar Singh, seorang profesor ekonomi dan pakar Asia Selatan di University of California di Santa Cruz, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (23/6/2022).
Singh mengatakan bantuan keuangan internasional seharusnya dapat membalikkan keadaan dengan relatif cepat, meskipun akan menimbulkan efek samping. Dia mencatat bahwa Sri Lanka memiliki ekonomi yang relatif kecil.
Artinya, nilai keuangan yang diperlukan untuk mengangkat negara keluar dari keruntuhan ekonomi, sebenarnya “tidak besar dalam skala global”. Jika Sri Lanka keluar dari kekacauan, pengalaman itu akan menawarkan satu sisi positif, karena kekhawatiran ekonomi berputar secara global.
“Sri Lanka memang memberikan pelajaran kepada negara lain tentang dasar-dasar manajemen ekonomi. Pelajaran ini bukanlah hal baru tetapi terkadang dilupakan,” lanjut dia.
Ekonom dari Jaffna University Ahilan Kadirgamar, mengatakan ekonomi kemungkinan akan menyusut 10 persen. Warga Sri Lanka telah menyerah pada produksi, dan tidak ada perencanaan atau proses untuk mengatasi masalah ini.
Dia menambahkan bahwa dibutuhkan setidaknya lima tahun bagi negara untuk menemukan pijakan yang kokoh kembali. Sekolah dan kantor pemerintah di kota-kota besar di Sri Lanka telah ditutup setidaknya selama sepekan akibat kekurangan bahan bakar. Hal itu telah memaksa negara untuk berhenti beraktivitas secara total.
Kerawanan pangan juga melanda Sri Lanka, dengan data dari bank sentral menunjukkan kenaikan tajam harga untuk semua jenis makanan. Mulai dari beras, makanan pokok, harganya hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Harga bahan pokok seperti tomat naik empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Pekan lalu, pegawai pemerintah diminta menanam makanan di halaman belakang rumah mereka.
Tanda-tanda krisis yang menghancurkan ada di mana-mana, termasuk kekurangan obat-obatan di rumah sakit dan bisnis di ambang penutupan. Di rumah sakit umum utama di ibu kota, Kolombo, persediaan penting seperti obat-obatan juga semakin langka.
“Kami mencoba untuk mengelolanya, tetapi ada kelangkaan, jadi harus bijak menggunakannya” kata juru bicara rumah sakit, Pushpa De Soysa.
Sebelumnya Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengakui ekonomi negaranya telah benar-benar kolaps. Krisis telah disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah membayar utang dan dinamika yang diperburuk oleh inflasi global serta kekacauan rantai pasokan makanan di tengah invasi Rusia ke Ukraina.