REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Taliban meminta komunitas internasional mencabut sanksi dan mencairkan aset yang sedang dibekukan milik Afghanistan. Saat ini Afghanistan tengah berusaha memulihkan diri pasca bencana gempa pada Rabu (22/6/2022) lalu yang menewaskan lebih dari 1.100 orang.
“Imarah Islam meminta dunia untuk memberikan hak paling dasar kepada warga Afghanistan, yakni hak mereka untuk hidup dan itu melalui pencabutan sanksi serta pencairan aset kami, dan juga pemberian bantuan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Taliban Abdul Qahar Balkhi saat diwawancara Reuters, Sabtu (25/6/2022).
Dalam wawancara tersebut, disampaikan kepada Balkhi bahwa Barat masih prihatin dengan pemerintahan Taliban yang belum sepenuhnya memenuhi janji untuk mengakomodasi hak-hak perempuan di sana, termasuk bekerja dan menempuh pendidikan. Balkhi mengatakan, dana penyelamatan jiwa harus menjadi prioritas.
Dia menambahkan, masyarakat internasional menangani masalah hak asasi manusia (HAM) dengan cara berbeda-beda, tergantung negara terkait. “Apakah aturan ini universal? Karena Amerika Serikat (AS) baru saja mengesahkan undang-undang anti-aborsi,” ucap Balkhi, merujuk pada putusan Mahkamah Agung AS membatalkan putusan Roe v. Wade yang mengakui hak perempuan melakukan aborsi.
Balkhi pun menyampaikan bahwa 16 negara di dunia telah merampas hak-hak agama minoritas, khususnya umat Islam. “Apakah mereka juga menghadapi sanksi karena melanggar hak?” tanyanya.
Sejak merebut kekuasaan di Afghanistan pada Agustus tahun lalu, sejumlah negara, termasuk AS, memberlakukan sanksi terhadap pemerintahan Taliban. Washington, misalnya, membekukan aset bank sentral Afghanistan senilai hampir 10 miliar dolar AS.
Pada Sabtu lalu, juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengungkapkan, pemerintahan Presiden AS Joe Biden sedang membahas pertanyaan rumit tentang penggunaan dana bank sentral Afghanistan yang dibekukan. Hal itu guna memastikan dana tersebut menguntungkan rakyat Afghanistan dan bukan Taliban.