REPUBLIKA.CO.ID, WARSAW -- Setahun setelah para migran mulai menyeberang ke Uni Eropa (UE) dari Belarusia ke Polandia, Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki dan pejabat tinggi keamanan mengunjungi daerah perbatasan pada Kamis (30/6/2022). Kedatangan mereka untuk menandai selesainya pembangunan tembok baja tersebut.
Pihak berwenang Polandia juga akan mencabut keadaan darurat di sepanjang perbatasan pada Jumat (1/7/2022). Tindakan itu telah memblokir wartawan, pekerja hak asasi dan lainnya untuk menyaksikan krisis hak asasi manusia. Setidaknya, 20 migran telah meninggal dunia di hutan dan rawa yang membeku di daerah itu.
Pemerintah Polandia mencirikan tembok itu sebagai bagian dari perang melawan Rusia. Sedangkan pembela hak asasi manusia melihatnya sebagai mewakili standar ganda yang besar. Kelompok-kelompok pengungsi kulit putih Kristen dari Ukraina yang sebagian besar terdiri dari perempuan disambut tetapi sebagian besar laki-laki Muslim dari Suriah dan negara-negara lain ditolak dan diperlakukan dengan buruk.
"Tanda pertama perang di Ukraina adalah serangan (Presiden Belarusia) Alexander Lukashenko di perbatasan Polandia dengan Belarusia," kata Morawiecki.
"Berkat pandangan ke depan politik (kami) dan antisipasi terhadap apa yang mungkin terjadi, kami dapat fokus sekarang untuk membantu Ukraina, yang berjuang untuk melindungi kedaulatannya," ujarnya.
Ketika Polandia membuka gerbangnya bagi jutaan orang Ukraina yang melarikan diri dari invasi Rusia, pekerjaan sedang berlangsung untuk membangun tembok setinggi 5,5 meter sepanjang 186 kilometer dari perbatasan utara dengan Belarus. Tembok yang kini sudah selesai itu masih membutuhkan sistem pengawasan elektronik untuk dipasang.
Belarus belum pernah menjadi rute migrasi utama ke UE sampai Lukashenko mulai mendorong calon pencari suaka di Timur Tengah untuk melakukan perjalanan ke negara itu. Segera, orang-orang dari Suriah, Irak, Yaman, Afghanistan, dan negara-negara Afrika berbondong-bondong ke tepi timur UE, memasuki Polandia dan negara tetangga Lithuania dan Latvia.
Para pemimpin UE menuduh Lukashenko melancarkan “perang hibrida” sebagai pembalasan atas sanksi blok tersebut atas perlakuan rezim terhadap para pembangkang. Pemerintah Polandia mengatakan, Rusia terlibat, mengingat aliansi Lukashenko dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sebuah laporan Human Rights Watch bulan ini mengatakan, Polandia secara melawan hukum, terkadang dengan kekerasan. Pemerintah dengan cepat mendorong para migran dan pencari suaka kembali ke Belarus dan berhadapan dengan pemukulan dan pemerkosaan oleh penjaga perbatasan dan pasukan keamanan lainnya.