REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengungkapkan rancangan pertanyaan referendum dalam upaya menguatkan suara masyarakat pribumi di parlemen. Referendum ini diperlukan untuk mengakui minoritas pribumi di konstitusi.
Berdasarkan referendum ini pemerintah wajib berkonsultasi dengan masyarakat Aborigin dalam membuat keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Perubahan konstitusi ini merupakan komitmen Albanese berkuasa sejak bulan Mei lalu.
Melalui legislasi ini koalisinya ingin menegaskan perwakilan pribumi di parlemen. Albanese yang mengungkapkan rencana ini dalam pidato di festival masyarakat pribumi di Arnhem Land yang terpencil, di Northern Territory, akan mengajukan pertanyaan referendum:
"Apakah anda mendukung perubahan Konstitusi yang menetapkan Suara Aborigin dan Masyarakat Selat Torres?"
Berdasarkan teks pidato yang dirilis sebelum acara digelar, perdana menteri Australia itu akan menyarakan tiga kalimat untuk ditambah dalam konstitusi bila referendum berhasil.
"Saya meminta niat baik semua masyarakat Australia untuk terlibat dengan ini," katanya dalam pidato itu.
"Dengan hormat, kami sengaja untuk mengamankan dukungan untuk pertanyaan dan ketentuan yang berkaitan dengannya ketika referendum berhasil, pada masa jabatan parlemen ini," tambah Albanese.
Berdasarkan teks pidato itu Albanese akan mengatakan suara akan menjadi sumber saran dan bertanggung jawaban. Tapi bukan "majelis ketiga" di parlemen. Konstitusi Australia tidak menyebutkan masyarakat pribumi.
Selama bergenerasi-generasi pemimpin masyarakat pribumi berhasil mendapat pengakuan atas ketidakadilan yang mereka derita sejak kolonisasi Eropa pada 1700-an. Perubahan konstitusi sulit dilakukan karena harus mendapat dukungan dari mayoritas di mayoritas negara bagian.
Sejak federasi Australia berdiri pada tahun 1901 hanya 44 kali dilakukan. Keberhasilan referendum ini akan membawa Australia bersama Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat yang secara resmi mengakui masyarakat pribumi.