Kamis 18 Aug 2022 12:25 WIB

Ibu Kembali Bersekolah Bersama Anaknya di Nepal

Setengah perempuan Nepal putus sekolah karena berbagai alasan, termasuk kemiskinan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Gadis-gadis melihat Sungai Bagmati, yang meluap karena hujan monsun, di Kathmandu, Nepal, Rabu, 27 Juli 2022. Seorang ibu dua anak dari Nepal Parwati Sunar mendapati dirinya bersekolah di sekolah yang sama dengan putranya setelah kembali ke sistem pendidikan yang ditinggalkannya pada usia 15 tahun.
Foto: AP Photo/Niranjan Shrestha
Gadis-gadis melihat Sungai Bagmati, yang meluap karena hujan monsun, di Kathmandu, Nepal, Rabu, 27 Juli 2022. Seorang ibu dua anak dari Nepal Parwati Sunar mendapati dirinya bersekolah di sekolah yang sama dengan putranya setelah kembali ke sistem pendidikan yang ditinggalkannya pada usia 15 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Seorang ibu dua anak dari Nepal Parwati Sunar mendapati dirinya bersekolah di sekolah yang sama dengan putranya setelah kembali ke sistem pendidikan yang ditinggalkannya pada usia 15 tahun. Ketika itu dia kawin lari dengan seorang pria tujuh tahun lebih tua darinya.

"Saya senang belajar dan bangga bisa hadir bersama teman-teman sekelas yang seperti anak-anak saya sendiri," kata Sunar dari desanya Punarbas di tepi barat daya negara Himalaya, tempat dia belajar di kelas tujuh.

Baca Juga

Hanya sekitar 57 persen perempuan yang melek huruf di negara berpenduduk 29 juta itu. Sunar yang berusia 27 tahun berharap menjadi cukup melek huruf untuk dapat menjaga rekening rumah tangga.

"Saya pikir saya seharusnya tidak meninggalkan sekolah saya," kata Sunar menjelaskan keinginannya untuk mengejar pelajaran yang dia lewatkan setelah melahirkan anak pertamanya pada usia 16 tahun.

"Saya merasa senang pergi ke sekolah dengan ibu," kata putra Sunar bernama Resham yang berusia 11 tahun, yang satu kelas di belakang ibunya.

Resham menghabiskan istirahat makan siang bersama ibunya. Sunar pun membonceng anaknya  saat dia bersepeda ke kelas komputer yang mereka hadiri di sebuah institut terdekat.

"Kami mengobrol sambil berjalan ke sekolah dan kami belajar dari percakapan kami," kata Resham seraya menambahkan bahwa ibunya berharap dia bisa menjadi dokter.

Kepala sekolah desa Jeevan Jyoti Bharat Basnet menyatakan, sebagai seorang siswa, Sunar di bawah rata-rata. Namun, sebagai seorang pembelajar, siswa tidak biasanya itu sangat rajin.

Keluarga Sunar adalah bagian dari komunitas Dalit yang sebelumnya dikenal sebagai orang yang tidak dapat disentuh. Kelompok ini pada tingkatan terendah dari sistem kasta Hindu, tetapi Sunar mengatakan bahwa keluarga tersebut tidak menghadapi perlakuan buruk atas hal ini.

Hari Sunar dimulai saat fajar mengenai bangunan dua kamar beratap seng dari batu bata. Dia bersama dengan anak pertamanya Arjun dan Resham serta ibu mertuanya harus berbagi tempat dengan kambing mereka yang dikurung di satu area. Rumah mereka tidak memiliki toilet, sehingga keluarga tersebut menggunakan sebidang tanah umum di dekatnya.

Rutinitas sehari-hari mereka adalah mandi di air yang diambil dari pompa tangan di luar rumah, bekerja di ladang hijau di sekitarnya. Suami Sunar bekerja sebagai buruh di kota Chennai di India selatan untuk menghidupi keluarganya.

Setelah makan nasi dan lentil sederhana, Sunar mengenakan seragam sekolah blus dan rok biru muda dengan dasi bergaris sebelum berjalan 20 menit bersama putranya ke sekolah, juga sebuah bangunan beratap seng, dikelilingi oleh pepohonan.

Salah satu teman sekelas Sunar bernama Bijay BK berusia 14 tahun menyatakan, mengasyikan satu kelas dengan Sunar. "Didi menyenangkan," katanya, menggunakan istilah Nepal untuk kakak perempuan. "Saya membantunya dalam belajar dan dia juga membantu saya."

Upaya Sunar dapat menginspirasi perempuan desa yang haus untuk belajar di luar cakrawala domestik di Nepal. Perempuan masih menghadapi diskriminasi dan pernikahan anak yang meluas, meskipun ilegal.

"Dia melakukan pekerjaan dengan baik," kata salah satu tetangganya, Shruti Sunar yang duduk di kelas 10 sekolah itu. "Saya pikir orang lain harus mengikutinya dan pergi ke sekolah."

Data pemerintah menunjukan, Pendaftaran anak perempuan di pendidikan dasar atau kelas 1 sampai 8 adalah 94,4 persen. Presiden Federasi Sekolah Komunitas Krishna Thapa mengatakan, hampir setengah putus sekolah karena berbagai alasan mulai dari kurangnya buku teks hingga kemiskinan.

"Sekolah kekurangan infrastruktur, seperti toilet untuk anak perempuan. Kebanyakan perempuan putus sekolah saat menstruasi karena tidak ada toilet," ujar Thapa.

Namun Sunar yang melepaskan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di negara tetangga India untuk kembali belajar ini bertekad untuk menyelesaikan kelas 12. "Ini adalah pemikiran sekarang. Apa yang ada di depan, saya tidak tahu," ujarnya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement