Rabu 24 Aug 2022 17:41 WIB

Mahkamah Konstitusi Thailand Perintahkan Perdana Menteri Mundur

Mahkamah Konstitusi menangguhkan PM Thailand, Prayuth Chan-ocha dari tugas resmi

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu (24/8/2022) menangguhkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dari tugas resmi.
Foto: AP/Petros Giannakouris
Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu (24/8/2022) menangguhkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dari tugas resmi.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu (24/8/2022) menangguhkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dari tugas resmi. Langkah ini diambil setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mendengarkan petisi yang meminta peninjauan batas masa jabatan delapan tahun yang diamanatkan secara hukum.

Petisi oleh partai oposisi utama berpendapat bahwa, jabatan Prayuth sebagai kepala junta militer harus diperhitungkan dalam masa jabatan delapan tahun yang ditetapkan secara konstitusional. Prayuth menjabat sebagai kepala junta setelah dia melakukan kudeta, ketika dia menjadi panglima militer pada 2014.

"Pengadilan telah mempertimbangkan permohonan dan dokumen terkait dan melihat bahwa fakta-fakta dari petisi itu perlu dipertanyakan seperti yang diminta," kata pernyataan Mahkamah Konstitusi.

Prayuth memiliki waktu 15 hari untuk menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi. Selama penangguhan tersebut, Wakil Perdana Menteri Prawit Wongsuwan akan mengambil alih sebagai pemimpin sementara.Tidak diketahui kapan pengadilan akan memberikan putusan akhir atas petisi tersebut.

Prayuth memerintah sebagai kepala dewan militer setelah ia menggulingkan pemerintah terpilih pada 2014. Dia menjadi perdana menteri sipil pada 2019 setelah pemilihan yang diadakan di bawah konstitusi rancangan militer 2017, di mana batas delapan tahun untuk seorang perdana menteri telah ditetapkan. Thailand dijadwalkan menggelar pemilihan umum pada Mei tahun depan.

Juru bicara pemerintah, Anucha Burapachaisri mengatakan, Prayuth menghormati keputusan pengadilan dan telah berhenti dari tugas aktif. Dia menambahkan, penangguhan tidak akan berdampak pada pekerjaan pemerintah.

"Perdana Menteri Prayuth juga menghimbau kepada masyarakat untuk menghormati putusan pengadilan dan menghindari mengkritik putusan yang dapat menimbulkan perpecahan," kata Anucha.

Dalam permintaan peninjauannya, partai oposisi utama berpendapat bahwa Prayuth harus meninggalkan kantornya bulan ini. Karena jabatannya sebagai kepala junta harus diperhitungkan dalam masa jabatannya.

Jajak pendapat menunjukkan, hampir dua pertiga warga Thailand ingin Prayuth lengser pada bulan ini. Tetapi beberapa pendukungnya berpendapat masa jabatan Prayuth dimulai pada 2017, ketika konstitusi baru mulai berlaku, atau setelah pemilihan 2019. Dengan demikian, Prayuth dapat tetap berkuasa hingga 2025 atau 2027, jika terpilih.

Aktivis pro-demokrasi telah berkampanye melawan Prayuth dan pemerintahannya. Mereka beralasan bahwa pemilihan 2019 tidak sah.  Tetapi demonstrasi yang dipimpin mahasiswa mereda selama beberapa tahun terakhir, dengan diberlakukannya larangan pertemuan akibat Covid-19.  Namun para aktivis kembali melakukan aksi protes untuk mengantisipasi keputusan pengadilan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement