Mereka menyerukan pembubaran parlemen dan pemilihan umum lebih awal tanpa partisipasi kelompok syiah yang di dukung Iran. Menurut mereka kelompok itu bertanggung jawab pada status quo.
Keputusan al-Sadr mengundurkan diri diumumkan ketika jutaan orang syiah Iran bersiap menggelar ziarah tahunan ke Irak.
Sementara itu Kuwait meminta warganya di Irak untuk segera meninggalkan negara itu. Kantor berita pemerintah Kuwait, KUNA juga meminta masyarakat yang ingin mengunjungi Irak menunda rencana mereka karena bentrokan antara kelompok-kelompok syiah. Kuwait berbagi perbatasan dengan Irak sepanjang 254 kilometer.
Sementara Belanda telah mengevakuasi kedutaan di Zona Hijau. "Terdapat pemadam kebakaran sekitar kedutaan di Baghdad, saat ini staf kami sedang bekerja di kedutaan besar Jerman di tempat di kota," kata Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra di Twitter.
Maskapai Dubai, Emirates, menghentikan penerbangan ke Baghdad karena kerusuhan yang terjadi di Irak. Maskapai itu mengatakan "memantau situasinya dengan seksama." Tidak disebutkan apakah penerbangan akan kembali dibuka pada Rabu (31/8/2022).
Pengunjuk rasa yang loyal pada ulama Muqtada al-Sadr merobohkan penghalang dari beton di luar gedung pemerintahan dengan tali dan menerobos gerbang gedung. Banyak yang berlari menuju aula mewah, tempat pemimpin negara Irak dan perwakilan negara asing bertemu.
Dalam merespons kerusuhan ini militer Irak mengumumkan jam malam di seluruh negeri dan pelaksana tugas perdana menteri menunda rapat Kabinet. Petugas medis mengatakan puluhan pengunjuk rasa terluka oleh tembakan peluru tajam, gas air mata dan perkelahian dengan polisi anti huru-hara.
Masyarakat yang menonton di pinggir jalan merekam kerusuhan itu dengan telepon genggam mereka. Meskipun sebagian besar bersembunyi di balik tembok-tembok yang masih berdiri, mereka ketakutan saat melihat pecahan peluru.
Saat pendukung al-Sadr melepas tembakan terlihat tank lapis baja berbaris di sepanjang barikade Zona Hijau. Tapi tank-tank itu tidak menggunakan persenjataan berat mereka.
Selama puluhan tahun masyarakat mayoritas syiah di Irak tertindas selama Saddam Hussein berkuasa. Invasi Amerika Serikat (AS) pada 2003 menggulingkan Saddam, mengubah peta politik Irak. Dua pertiga masyarakat Irak adalah syiah, sepertiganya sunni.
Setelah AS hengkang dari Irak, kini kelompok-kelompok syiah bertikai. Syiah yang didukung Iran dan syiah nasionalis berebut kekuasaan, pengaruh dan sumber daya negara.