REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Utara mengisyaratkan minatnya untuk mengirim pekerja konstruksi ke wilayah Ukraina timur yang dikuasai separatis pro-Rusia. Korea Utara berkeinginan mengirim tenaga kerja ke wilayah itu untuk membantu rekonstruksi.
Ide tersebut secara terbuka didukung oleh pejabat senior dan diplomat Rusia. Duta Besar Korea Utara untuk Moskow belum lama ini bertemu dengan utusan dari dua wilayah separatis yang didukung Rusia di wilayah Donbas, Ukraina. Duta besar Korea Utara menyatakan optimisme tentang kerja sama di bidang migrasi tenaga kerja. Pembicaraan itu terjadi setelah Korea Utara pada Juli menjadi satu-satunya negara selain Rusia dan Suriah yang mengakui kemerdekaan wilayah Donetsk dan Luhansk. Korea Utara kemudian bersekutu dengan Rusia atas konflik di Ukraina.
Mempekerjakan pekerja Korea Utara di Donbas akan bertentangan dengan sanksi Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara atas program nuklir dan misilnya. Banyak ahli meragukan bahwa Korea Utara akan mengirim pekerja sementara perang di Ukraina masih tetap berlangsung. Ukraina mendapatkan aliran bantuan senjata dari Barat untuk melawan pasukan Rusia yang jauh lebih besar.
Tetapi para ahli mengatakan, kemungkinan Korea Utara akan memasok tenaga kerja ke Donbas ketika pertempuran mereda untuk meningkatkan ekonomi negaranya. Perekonomian Korea Utara mengalami kekacauan akibat sanksi, penutupan perbatasan akibat pandemi Covid-19, dan salah urus negara selama beberapa dekade.
Ekspor tenaga kerja akan berkontribusi pada strategi jangka panjang Korea Utara untuk memperkuat kerja sama dengan Rusia dan China, dalam kemitraan baru yang bertujuan mengurangi pengaruh Amerika Serikat (AS) di Asia.
Wakil Perdana Menteri Rusia Marat Khusnullin mengatakan, perusahaan konstruksi Korea Utara telah menawarkan untuk membantu membangun kembali daerah yang dilanda perang di Donbas. Ini merupakan terobosan dari posisi Rusia pada Desember 2017, ketika mendukung sanksi baru Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara karena melakukan uju coba rudal balistik antarbenua.
Sanksi ini mengharuskan negara-negara anggota untuk mengusir semua pekerja Korea Utara dari wilayah mereka dalam waktu 24 bulan. Seorang analis senior di Institute for National Security Strategy, sebuah lembaha think tank yang dijalankan oleh agen mata-mata Korea Selatan, Lim Soo-ho, mengatakan, Rusia tampaknya ingin mengurangi sanksi tersebut karena menghadapi kampanye tekanan yang dipimpin AS yang bertujuan mengisolasi ekonominya atas agresinya di Ukraina.
“Bagi Rusia, gagasan untuk mempekerjakan pekerja Korea Utara untuk pembangunan kembali pascaperang benar-benar bermanfaat. Sejumlah besar pekerja konstruksi Korea Utara datang ke Rusia pada tahun-tahun sebelumnya, dan permintaan akan tenaga kerja mereka kuat karena murah dan terkenal dengan pekerjaan yang berkualitas," ujar Lim.
Sebelum sanksi 2017, ekspor tenaga kerja merupakan sumber mata uang asing yang langka bagi Korea Utara. Ekspor tenaga kerja menghasilkan pemasukan senilai ratusan juta dolar setahun bagi pemerintah.
Departemen Luar Negeri AS sebelumnya memperkirakan, sekitar 100 ribu warga Korea Utara bekerja di luar negeri dalam pekerjaan yang diatur pemerintah, terutama di Rusia dan China. Termasuk di Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Asia Selatan.
Pakar sipil mengatakan para pekerja memberikan pemasukan antara 200 juta hingga 500 juta dolar AS per tahun untuk pemerintah Korea Utara. Sementara para pekerja Korea Utara hanya mengantongi sebagian kecil dari gaji mereka. Mereka bekerja keras selama lebih dari 12 jam sehari di bawah pengawasan agen keamanan Korea Utara.
Sementara Rusia memulangkan beberapa pekerja Korea Utara sebelum batas waktu PBB pada Desember 2019. Tidak diketahui berapa jumlah tenaga kerja Korea Utara yang masih terus bekerja atau terjebak di Rusia setelah Pyongyang menutup perbatasannya untuk mengatasi Covid-19.
"Korea Utara dapat dengan mudah memobilisasi ratusan bahkan ribuan pekerja ke Donbas jika mereka memutuskan untuk menggunakan pekerja yang tersisa di Rusia," kata pakar Korea Utara di Universitas Dong-A Korea Selatan, Kang Dong Wan.