REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Mantan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, kembali dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun oleh pengadilan negara tersebut, Jumat (2/9/2022). Dia dinyatakan bersalah dalam kasus penipuan pemilu. Sebelumnya Suu Kyi sudah menerima vonis 17 tahun penjara atas beberapa dakwaan yang dilayangkan militer Myanmar.
Selain Suu Kyi, pengadilan di ibu kota Naypyitaw turut menjatuhkan hukuman penjara selama tiga tahun kepada mantan presiden Myanmar Win Myint dan mantan menteri kantor kepresidenan Min Thu dalam kasus serupa. Selain penjara tiga tahun, Suu Kyi, Win Myint, dan Min Thu juga akan menjalani hukuman kerja paksa. Pengacara mereka dilaporkan akan mengajukan banding dalam beberapa hari mendatang.
Vonis hukuman terbaru yang diterima Suu Kyi turut membawa konsekuensi politik. Partai Suu Kyi, yakni National League for Democracy (NLD), terancam dibubarkan sebelum pemilu yang dijanjikan militer untuk tahun 2023 digelar. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Myanmar Thein Shoe telah menyampaikan, lembaganya akan mempertimbangkan pembubaran NLD. Thein Shoe menuduh NLD telah bekerja secara ilegal dengan pemerintah untuk memperoleh keuntungan sendiri dalam pemilihan.
Namun anggota KPU Myanmar Khin Maung Oo mengungkapkan, pemeriksaan terhadap NLD akan ditunda. Hal itu karena sejumlah pejabat dan petugas NLD telah ditangkap. Sementara yang lainnya masih buron. Dalam penyelidikannya nanti, KPU Myanmar akan turut memeriksa apakah NLD mengelola dan menggunakan dana sesuai peraturan hukum.
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Selain Suu Kyi, militer Myanmar turut menangkap mantan presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai NLD.
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu yang digelar pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah mengambil alih pemerintahan sementara, militer Myanmar melayangkan sejumlah dakwaan terhadap Suu Kyi. Dakwaan tersebut antara lain melakukan kecurangan pemilu, kepemilikan walkie-talkie ilegal, melanggar pembatasan sosial Covid-19, menghasut, dan lima tuduhan korupsi. Atas kasus-kasus tersebut, kecuali kecurangan pemilu, Suu Kyi sudah menerima vonis hukuman 17 tahun penjara.
Saat ini Suu Kyi masih harus menghadapi dakwaan melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi dan tujuh tuduhan korupsi lainnya. Suu Kyi terancam diganjar hukuman maksimal 14 tahun penjara dan 15 tahun penjara untuk masing-masing kasus tersebut.
Terkait vonis terbaru yang diterima Suu Kyi, juru bicara Asian Network for Free Elections yang berbasis di Bangkok, Amael Vier, mengatakan, organisasinya tidak melihat adanya kecurangan dalam pemilu yang digelar Myanmar pada November 2020. “Para pengamat pemilu domestik dari Myanmar juga tidak melihat itu,” ucapnya.
Vier menjelaskan, pasti ada perbaikan yang harus dilakukan Myanmar dalam proses penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, Myanmar memang masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara demokrasi dunia lainnya. “Tapi klaim junta (Myanmar) bahwa 25 persen pemilih adalah curang, ini tidak sesuai dengan pengawasan kami, tentunya,” ucapnya.
Sebelumnya KPU Myanmar mengklaim bahwa mereka telah menemukan lebih dari 11 juta penyimpangan dalam daftar pemilih pada pemilu November 2020. Hal itu membuat pemilih memberikan suara lebih banyak atau melakukan penipuan lainnya.
Junta Myanmar dilaporkan telah mencopot 2.417 pejabat karena dianggap gagal mengawasi proses pemilu pada November 2020. Junta pun berniat menuntut pemilih atau warga yang memberikan suaranya lebih dari sekali.
Bulan lalu, pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, ia akan mempertimbangkan untuk menempatkan Aung San Suu Kyi dalam tahanan rumah. “Saya akan mempertimbangkan masalah ini (penempatan Suu Kyi dalam tahanan rumah) setelah putusan selesai. Kami tidak memaksakan tuduhan kuat padanya dan menunjukkan belas kasihan meskipun kami dapat melakukan lebih banyak,” kata Jenderal Min Aung Hlaing dalam sebuah pernyataan yang dibacakan televisi pemerintah Myanmar pada 19 Agustus lalu.
Pernyataan tertulis Min Aung Hlaing itu muncul sebagai tanggapan atas permintaan yang dibuat Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer. Pada 17 Agustus lalu, Heyzer berkunjung ke Myanmar dan bertemu dengan Min Aung Hlaing. Pada kesempatan itu, dia meminta Min Aung Hlaing agar mengizinkan Suu Kyi pulang.