REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Otoritas Palestina mengecam perluasan permukiman ilegal Israel di wilayah Tepi Barat. Menurutnya, proyek tersebut akan semakin menyulitkan realisasi solusi dua negara.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Palestina menyoroti proyek pembangunan permukiman baru Israel di kota Sinjil yang terletak di utara Ramallah. "Proyek pemukiman baru ini meningkatkan pemisahan wilayah-wilayah Palestina dan memisahkan mereka sepenuhnya satu sama lain, mengubahnya menjadi kantong-kantong di lautan pemukiman besar yang terhubung dengan kedalaman Israel," kata Kemenlu Palestina, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, Ahad (4/9/2022).
Palestina kembali menekankan, keleluasaan Israel memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat tak terlepas dari lemahnya respons internasional atas pelanggaran tersebut. Di sisi lain, Amerika Serikat (AS) juga memberikan perlindungan kepada Tel Aviv. Palestina menilai, faktor-faktor tersebut bisa menutup pintu bagi solusi politik untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Menurut Kemenlu Palestina, ketiadaan solusi politik berarti akan membuka lebar siklus kekerasan yang tak berkesudahan. Pada Kamis (1/9/2022) lalu, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menerima kunjungan Utusan Khusus Uni Eropa untuk Proses Perdamaian Timur Tengah Sven Koopmans di Ramallah. Pada kesempatan itu, Shtayyeh menekankan pentingnya Uni Eropa memainkan peran aktif dalam melindungi potensi solusi dua negara untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Shtayyeh mengkhawatirkan prospek solusi dua negara mengingat pelanggaran sistematis dan konstan yang dilakukan Israel. Pelanggaran tersebut antara lain percepatan proyek permukiman ilegal, perampasan tanah warga Palestina, dan serta berlanjutnya intrusi ke Masjid Al-Aqsa.
Pada Juli lalu, Uni Eropa mengungkapkan, pembangunan unit permukiman ilegal Israel di wilayah Palestina yang diduduki meningkat pada 2021. Perhimpunan Benua Biru pun menaruh keprihatinan atas beberapa proyek permukiman yang berpotensi memisahkan wilayah Tepi Barat dengan Yerusalem Timur.
Uni Eropa mengatakan, sepanjang tahun lalu, jumlah pembangunan unit permukiman Israel di Yerusalem Timur meningkat dua kali lipat. Pada 2020, terdapat 6.288 unit rumah di wilayah itu. Kemudian pada 2021, jumlahnya bertambah menjadi 14.894.
“Peningkatan pada 2021, khususnya dari tiga pemukiman, yakni E1, Atarot, dan Lower Aqueduct, merupakan penyebab keprihatinan yang serius. Permukiman itu, jika dibangun, akan memutuskan Yerusalem Timur dari wilayah perkotaan utama Tepi Barat, seperti Hebron dan Ramallah. Dengan demikian akan memiliki implikasi serius pada kelangsungan perkotaan Palestina dan menimbulkan ancaman serius bagi solusi dua negara yang layak,” kata Kantor Perwakilan Uni Eropa untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam laporannya, dikutip WAFA, 21 Juli lalu.
Uni Eropa menekankan, mereka telah berulang kali menyerukan Israel agar menghentikan semua aktivitas permukimannya di wilayah Palestina yang diduduki. Mereka pun meminta Tel Aviv membongkar permukiman-permukiman liar yang dibangun warga Israel di wilayah Palestina sejak Maret 2001.
“Uni Eropa tetap pada posisi tegas bahwa pemukiman (Israel di wilayah Palestina yang diduduki) ilegal menurut hukum internasional. Keputusan Israel untuk memajukan rencana persetujuan dan pembangunan unit pemukiman yang hampir baru pada tahun 2021, yaitu untuk Givat Hamatos dan Har Homa, semakin merusak prospek solusi dua negara yang layak,” kata Kantor Perwakilan Uni Eropa untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Tahun lalu Israel mengumumkan rencana pembangunan lebih dari 1.700 unit rumah di permukiman Givat Hamatos dan Pisgat Zeev. Ia pun hendak memajukan rencana membangun 9.000 unit rumah di Atarot dan lebih dari 3.400 lainnya di daerah E1 di Yerusalem Timur. PBB memperkirakan, saat ini terdapat hampir 700 ribu pemukim Israel yang tinggal di permukiman ilegal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.