REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Wilayah yang dikuasai Rusia di timur dan selatan Ukraina mengumumkan pada Selasa (20/9/2022), rencana untuk memulai pemungutan suara untuk menjadi bagian integral dari Rusia pekan ini. Upaya bersama dan mempercepat dukungan Istana Kremlin untuk menelan empat wilayah ini dalam meningkatkan posisi menyusul keberhasilan Ukraina di medan perang.
Penjadwalan referendum mulai 23 September di Luhansk, Kherson, sebagian wilayah Zaporizhzhia serta Donetsk. Sekutu dekat Presiden Rusia Vladimir Putin, Dmitry Medvedev, mengatakan pemungutan suara diperlukan. Terlebih lagi Moskow mulai kalah dalam invasi yang dimulai hampir tujuh bulan lalu, sehingga meningkatkan tekanan pada Kremlin untuk tanggapan yang kaku.
Wakil kepala Dewan Keamanan Rusia yang diketuai oleh Putin ini mengatakan, referendum yang mengubah empat wilayah Ukraina masuk Rusia ini akan membuat perbatasan yang digambar ulang tidak dapat diubah. Tindakna itu memungkinkan Moskow menggunakan cara apa pun untuk mempertahankannya.
Pemimpin separatis di Donetsk Denis Pushilin mengatakan, pemungutan suara itu akan memulihkan keadilan bersejarah di wilayah dengan orang yang menderita. "Mereka telah mendapatkan hak untuk menjadi bagian dari negara besar yang selalu mereka anggap sebagai tanah air mereka,” katanya.
Pemungutan suara di wilayah yang sudah dikuasai Rusia itu semuanya pasti akan mengikuti jalan Kremlin. Namun, hasil referendum seperti itu tidak mungkin diakui oleh pemerintah Barat yang mendukung Ukraina dengan militer dan dukungan lain yang telah membantu pasukannya merebut momentum di medan perang bagian timur dan selatan.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengecam upaya itu sebagai tipuan. "Ukraina memiliki hak untuk membebaskan wilayahnya dan akan terus membebaskan mereka apa pun yang dikatakan Rusia," katanya.
Penasihat keamanan nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan mengecam pemungutan suara yang direncanakan oleh Rusia. "Kami tidak akan pernah mengakui wilayah ini sebagai apa pun selain bagian dari Ukraina,” katanya menekankan upaya terbaru ini mencerminkan kemunduran Rusia di medan perang.
"Ini bukan tindakan negara yang percaya diri. Ini bukan tindakan kekuatan," katanya.
Sedangkan Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan saat menghadiri Majelis Umum PBB, pemungutan suara untuk referendum status empat wilayah Ukraina itu tidak dapat diterima. "Sangat, sangat jelas bahwa referendum palsu ini tidak dapat diterima," ujarnya.
Dalam sinyal lain bahwa Rusia sedang menggali konflik yang berlarut-larut dan mungkin meningkat, majelis rendah parlemen memilih untuk memperketat undang-undang terhadap desersi, penyerahan, dan penjarahan oleh pasukan Rusia pada Selasa. Anggota parlemen juga memilih untuk memperkenalkan kemungkinan hukuman penjara 10 tahun bagi tentara yang menolak untuk berperang. Jika aturan baru ini disetujui oleh majelis tinggi dan kemudian ditandatangani oleh Putin, undang-undang itu akan memperkuat kekuatan para komandan terhadap kegagalan moral yang dilaporkan di antara para prajurit.
Perebutan kembali wilayah terutama di wilayah timur laut Kharkiv telah memperkuat argumen Ukraina bahwa pasukannya dapat memberikan kekalahan yang lebih menyakitkan ke Rusia dengan pengiriman persenjataan tambahan. Lebih banyak persenjataan berat sedang dalam perjalanan.
Slovenia menjanjikan 28 tank dan Jerman menjanjikan empat howitzer self-propelled tambahan. Lebih banyak bantuan juga diharapkan dari Inggris yang sudah menjadi salah satu pendukung militer terbesar Ukraina setelah Perdana Menteri Inggris AS Liz Truss menyatakan janji terbaru. Dia mengatakan, pada 2023 pemerintahnya akan menyamai atau melebihi" bantuan militer senilai 2,3 miliar pound yang diberikan ke Ukraina tahun ini.
Kecepatan serangan balik Ukraina juga membuat pasukan Rusia meninggalkan kendaraan lapis baja dan senjata lainnya saat mundur dengan tergesa-gesa. Pasukan Ukraina mendaur ulang persenjataan untuk digunakan dalam pertempuran. Sebuah think tank yang berbasis di Washington The Institute for the Study of War mengatakan, tank T-72 Rusia yang ditinggalkan sedang digunakan oleh pasukan Ukraina yang berusaha mendorong ke Luhansk yang diduduki Rusia.