REPUBLIKA.CO.ID, SHARM EL SHEIKH -- Konferensi iklim COP27 dibuka di Sharm El Sheikh, Mesir pada Ahad (6/11/2022). Konferensi digelar di tengah meningkatnya seruan bagi negara-negara kaya untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara miskin yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Sebagian besar diskusi dalam COP27 diperkirakan menyoroti kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Termasuk dana kompensasi yang diberikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara berpenghasilan rendah yang menerima dampak atas emisi pemanasan iklim. Para delegasi akan memulai negosiasi dengan menyetujui agenda konferensi selama sesi pleno pembukaan.
Pembicaraan akan fokus kepada persetujuan kompensasi negara-negara kaya terhadap negara yang rentan. Para diplomat dari sekitar 130 negara diharapkan dapat mendorong terciptanya fasilitas pembiayaan kerugian dan kerusakan dalam konferensi COP27.
Pada COP26 tahun lalu di Glasgow, negara-negara berpenghasilan tinggi memblokir proposal untuk memberikan pembiayaan kerugian dan kerusakan terhadap negara yang terkena dampak perubahan iklim. Saat ini, sesi untuk membahas kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim sedang dalam agenda sementara. Menteri Ekonomi Jamaika, Matthew Samuda berharap pembahasan mengenai kompensasi perubahan iklim dapat menjadi agenda utama.
"Saya berharap itu akan masuk dalam agenda. Ada pelunakan posisi dari banyak negara yang setahun lalu atau dua tahun lalu tidak mau mendukungnya," ujar Samuda.
Menteri luar negeri Jerman, Annalena Baerbock, mengatakan, Jerman bersedia menunjukkan solidaritas dengan negara-negara miskin. Termasuk pada masalah pelik kompensasi kerugian akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi negara-negara kaya.
Baerbock mengatakan, pembicaraan dalam konferensi iklim dibayangi oleh serangan Rusia terhadap Ukraina. Serangan ini telah memicu pergolakan politik dan ekonomi di seluruh dunia.
"Tahun 2022 tidak boleh menjadi tahun yang hilang untuk perlindungan iklim. Bagi banyak negara, (perlindungan iklim) ini adalah tentang kelangsungan hidup populasi dan budaya mereka. Krisis iklim tetap menjadi masalah keamanan terpenting, bukan perang Rusia di Eropa," ujar Baerbock.